Senin, 28 Februari 2011

Malaikat tak Terlihat



            Aku punya tempat favorit di kafe ini. Nyaman rasanya duduk berjam-jam disana walau hanya ditemani bercangkir-cangkir capucino. Pojok kafe yang hangat di sisi sebuah jendela besar. Sofa empuk dan bertumpuk majalah disana. Aku merasa tenang. Seperti ada yang menahanku tiap aku ingin beranjak pergi. Benar-benar tak peduli dengan tatapan aneh pelayan kafe padaku. Mungkin aku terlihat seperti orang aneh. Hampir tiga kali seminggu aku datang ke kafe ini. Menelepon terlebih dulu untuk memesan tempat favoritku itu, duduk disana dengan earphone dan majalah. Terkadang laptop dan cemilan yang kubawa dari rumah. Tak ada yang protes, karena memang tak ada aturan “dilarang membawa makanan dari luar”.
            Sore ini, penghujung bulan Februari 2011. Gerimis rintik-rintik membasahi jalanan Yogyakarta. Langkahku gontai menyusuri trotoar ini. Lagi-lagi kafe itu. Tanganku hampir meyentuh pegangan pintu klasik itu namun pintunya lebih dulu terbuka.  Seorang pria berwajah teduh menatapku dan tersenyum. Aku menatapnya heran. Seolah tak asing denganku, dia menyapaku,
            “Aku duluan ya..” . Kata-katanya begitu singkat. Sampai aku tak sempat membalasnya, dan dia pergi sampai hilang dari pandangan mataku. Aku masih saja tertegun sampai akhirnya suara yang ku kenal memanggil namaku,
            “Mbak Mira, kok nggak masuk ?” Aku menoleh. Pelayan kafe itu tersenyum padaku dan mempersilahkanku masuk. Masih terkaget, aku tersenyum dan memasuki kafe itu. Cukup ramai dibandingkan suasana hujan di luar. Biasanya orang malas bepergian bukan ?
            Aku menghela nafas dan menjatuhkan diri di sofa kafe yang empuk. Tak perlu memesan karena hampir semua pelayan di kafe ini hafal dengan kebiasaanku. Aku mengambil majalah dan membukanya acak. Namun pikiranku berada jauh keluar. Rasanya tak asing dengan pria tadi. Tapi siapa dia ?
            Tak sampai 10 menit 2 cangkir capucino hadir di hadapanku. Pelayannya tersenyum dan meninggalkanku. Aku meraih secangkir dan menatap titik-titik hujan di jendela besar yang ada di sampingku. Ini tidak biasa. Seperti ada yang mengganggu pikiranku namun entah apa.
            “Permisi....”. Lagi-lagi aku tersentak kaget. Lebih kaget lagi waktu menatap wajah si empunya suara. Pria itu lagi! Mau apa dia ?
            “Ehh, ya. Ada apa ?”
            “Aku pikir aku meninggalkan korek apiku disini.” Ujarnya sambil menunjuk korek api elektrik di dekat cangkir capucino ku.
            “Oh, punyamu ya ? Ambil aja.” Balasku canggung. Dia tersenyum dan mengantongi korek api itu di saku kemejanya.
            “Sendirian aja, Mir ?” Aku menatapnya heran. Darimana dia tau namaku ?
            “Kamu siapa ya ? Kita saling kenal ?” . Pria itu  tersenyum kecil.
            “Boleh duduk disini ?”
            “Eh... Ya, duduk aja kali.” Ujarku gugup. Pria itu duduk di depanku. Tangannya melambai pada pelayan dan mengucapkan pesanannya.
            “Jadi...... Siapa kamu ?” Tanyaku tak sabar. Dia menoleh dan lagi-lagi tersenyum.
            “Miracle, nama kamu tuh nggak pernah absen dari daftar pengunjung kafe ini. Jelaslah aku tau.” Pria itu tertawa kecil, memamerkan deretan giginya yang berkawat. Aku menatapnya keheranan.
            “Kurang kerjaan ya, sampai-sampai baca daftar pengunjung kafe ini ?” Aku membalas tawanya ketus. Tawa pria itu terhenti. Menyadari tindakannya yang membuatku tak nyaman, dia menghentikan tawanya dan hanya tersenyum kecil.
            “Memang itu pekerjaanku. Jadi aku bisa menyimpulkan, kafe ini laris atau nggak, Mir.” Dia tersenyum penuh arti. Aku menyadari sesuatu.
            “Kamu pemilik kafe ini ?” Tanyaku dengan tatapan menyelidik. Pria itu balas menatapku dan lagi-lagi dia tersenyum sebelum mengangguk.
            “Hehe, sebenarnya ini kafe ayahku.” Senyumnya mengembang. Tangannya menarik kerah kemejanya dengan sombong.
            “Ohhh... Hahaha” ujarku sambil tertawa pendek. Perkenalan yang aneh.
            “Oh ya kita belum kenalan. Namaku Djorgi.” Tangannya terulur menanti sambutan tanganku. Aku hanya menatapnya dengan tatapan aneh tanpa membalas uluran tangannya. Pria itu, Djorgi, menyadari responku. Dia menarik kembali tangannya dan berusaha tetap tenang.
            “Hahaha ya sudah, salam kenal ya, Miracle.” Lagi-lagi dia tersenyum dan aku hanya membalas sekenanya.
            “Namamu bagus...” Dia berkata lagi. Aku menarik nafas dan menghembuskannya ke arah poniku tanda aku tak begitu nyaman dengan percakapan ini.
            “Hmm... ya, makasih.” Aku menjawab sekenanya dan kali ini Djorgi benar-benar menyadari tingkahku yang tidak nyaman dengan perbincangan ini.
            “Ya sudah, selamat menikmati capucino nya ya. Aku pergi dulu. Sampai ketemu lagi, Mir.” Djorgi tersenyum dan beranjak pergi. Aku menarik nafas lega. Pria yang aneh.

***
            Tiga hari setelah perkenalan itu, aku datang kembali ke kafe itu. Lagi-lagi duduk di tempat favoritku, dan lagi-lagi memesan menu yang sama. Tak berapa lama pelayan itu datang membawa nampan berisi pesananku di atasnya.
            “Silahkan, Mbak Mira. Ada pesanan lain ?” Dia tersenyum ramah.
            “Nggak, makasih. “ Aku membalas senyumnya dan pelayan itu beranjak pergi. Aku mengedarkan pandanganku ke sekeliling ruangan. Hanya ada sepasang pemuda-pemudi dan aku disini. Ruangan ni tampak sangat lengang. Sampai akhirnya aku menyadari ada sepasang mata yang mengamatiku dari sudut meja kasir. Djorgi. Aku mendengus kesal dan dia menyadari kalau aku melihatnya dari jauh. Dia berjalan menghampiriku.
            “Sendirian aja, Mir ?” Dia duduk di sampingku.
            “Aku memang selalu sendirian, Djor.” Aku membalasnya ketus. Dasar sok kenal, pikirku.
            “Ya sudah aku temenin.” Dia tersenyum dan bersandar pada badan sofa yang empuk. Aku menatapnya heran.
            “Nggak, nggak perlu kok Djor .Nggak usah repot-repot.” Aku bergeser 5 centimeter darinya.
            “Aku nggak repot kok, Aku justru senang bisa duduk di samping kamu.” Dia menatapku dekat sekali. Jantungku berdetak kencang. Ada perasaan yang aneh saat aku di dekatnya. Dingin, kaku, atau apalah itu. Tidak biasa.
            “Apaan sih, Djor.” Aku mengelak dan bergeser menjauh. Djorgi tersenyum kecil dan mengambil majalah di depannya.
            “Aku pulang dulu.” Aku mengambil tas ku di meja dan berdiri. Tangan Djorgi mencegahku pergi dan aku tak bisa mengelak.
            “Maaf, maaf. Maaf kalau membuatmu nggak nyaman, Mir. Aku cuma pengen lebih dekat sama kamu kok.” Aku luluh juga. Tangan Djorgi melemah dan Aku kembali duduk.
            “Udah kenal kan ?” Aku menatapnya dalam-dalam.
            “Galak banget sih, Mir ? Ada yang marah ya kalau aku mau kenal deket sama kamu ?” Aku tersentak dan menatap Djorgi. Pertanyaan yang membuatku risih.
            “Nggak.” Jawabku pendek.
            “Terus ?” Djorgi bertanya lagi. Pertanyaan yang tepat sekali. Setelah setahun berlalu aku masih belum bisa melupakan dia. Almarhum Andar. Kekasihku.

***

Valentine 2010, Yogyakarta

            Tangan Andar tak pernah melepaskan tanganku dari genggamannya. Hari ini tepat 3 tahun kami berpacaran. Sore ini Jogja hujan lagi. Mungkin karena valentine tahun ini bertepatan dengan Imlek yang selalu identik dengan hujan. Kami terlihat bahagia. Andar dengan kaos coklatnya yang kebesaran, dan aku dengan sweater coklat pemberiannya. Kami sangat serasi.  Berdua kami berjalan menyusuri malioboro. Petang mulai menghampiri dan langit semakin gelap. Sampai akhirnya kami duduk di pelataran Monumen Serangan Umum 1 Maret. Hari beranjak gelap dan semakin ramai. Banyak pasangan muda-mudi yang juga sama bahagianya dengan kami, merayakan valentine yang katanya hari kasih sayang.
            Andar merengkuh bahuku sambil bersenandung kecil. Dia terlihat manis sekali. Namun sore ini dia sangat berbeda. Tak seceria biasanya. Dia hanya terus menggandengku dan sesekali merengkuh bahuku dengan mesra.
            “Sayang.....” Aku menyapanya dan dia balas menatapku. Tatapannya hangat.
            “Iya, sayangku...” Andar tersenyum dan mengecup keningku pelan.
            “Miracle, selamanya sama aku ya...” Aku menatapnya sambil tersenyum. Mataku berkaca-kaca entah mengapa. Rasanya berbeda. Rasanya aku sedikit takut.
            “Pasti, Andarku... Pasti” . Air mata turun dari pipiku satu demi satu. Andar terkejut dan menghapusnya dengan tangan kirinya. Sementara tangan kanannya tetap merengkuh bahuku.
            “Kenapa nangis, sayang ?” Aku hanya menatap matanya sambil tersenyum dalam tangisku. Entah mengapa sore itu aku merasa sedih dan takut.
            “Nggak, sayang. Aku cuma takut....” Andar menatapku heran.
            “Takut kenapa ?”
            “Takut. Kalau suatu saat aku nggak bisa lagi liat senyum kamu...” Tangisku seketika pecah dan Andar memelukku. Rasanya lama sekali sampai akhirnya tangisku reda.  Andar mengusap rambutku perlahan.
            “Nggak akan, sayang. Aku akan terus sama kamu. Jagain kamu, Mira.... Aku akan selalu sama kamu.. Di hati kamu...” Andar tersenyum hangat dan meletakkan tangannya di dadaku. Mengisyaratkan dia akan terus ada di hatiku. Aku mengangguk dan balas memeluknya. Malam datang sangat lambat sampai akhirnya kami memutuskan untuk pulang. Aku melingkarkan tanganku sambil membonceng Andar menuju rumahku. Perjalanan kami baru separuhnya, namun Andar memutuskan untuk berhenti.
            “Ada apa, sayang ?” Tanyaku heran. Andar berbalik dan tersenyum.
            “Aku beli bunga dulu ya.” Andar mengacak rambutku pelan dan berjalan menuju penjual bunga di seberang jalan. Aku tersenyum dari atas motor dan menatapnya menyeberang. Tak sampai 5 menit, Andar sudah membawa mawar putih dalam genggamannya. Rasanya lama sekali menunggunya menyeberang jalan. Jalanan memang sangat ramai.
            “Miracle!” Andar memanggilku dari seberang. Tangannya mengangkat setangkai mawar putih yang digenggamnya. Dia berlari ke arahku sambi tersenyum lebar. Sampai akhirnya sorot lampu itu menyentakku. Belum sempat aku berteriak, bunyi decitan rem disusul teriakan Andar mengagetkanku. Brak! Bunyinya sangat keras dan memekikkan telinga. Mobil jeep itu menabrak pohon dan Andar sekaligus.  Aku menutup mata dan menutup kedua telingaku dengan telinga. Darah segar mengucur dari bawah mobil jeep itu. Sontak aku menjerit memanggil nama Andar. Sekuat tenaga menyeret tubuhnya keluar dari bawah mobil. Penjual bunga dan beberapa orang yang ada disana berlari menghampiriku. Beberapa orang membuka paksa pintu mobil jeep itu dan berusaha menyelamatkan pengemudinya. Beberapa yang lain membantuku mengeluarkan Andar dari kolong mobil. Aku menangis menjerit-jerit. Rasanya tak kuasa bernafas saat melihat tubuh Andar sudah hancur tergilas roda jeep yang besar. Hitam. Semuanya hitam dan aku terkulai. Lemas sekali. Andar meninggal seketika dan aku pingsan tak sadarkan diri.

***

            “Mir ?” Tangan Djorgi mengguncangkan bahuku pelan. Aku tersadar kembali ke dunia nyata.
            “Mir, kok nangis ? Aku salah ngomong ya ?” Aku menatap Djorgi sayu. Aku tak kuasa menahan tangisku. Aku menangis di pelukannya. Lama sekali. Beruntung hari itu kafe cukup sepi. Hanya beberapa pelayan yang menatapku dengan aneh.
            “Mir, ada apa Mir ?” Djorgi bertanya khawatir. Aku mencoba mengendalikan emosiku dan sekuat tenaga menghentikan tangis. Aku bercerita padanya perlahan. Rasanya sakit sekali membuka kembali kenangan itu. Merelakan dan membuang nama Andar jauh-jauh. Menghilangkan trauma dan ketakutanku sekuat tenaga selama berbulan-bulan bahkan setelah satu tahun berlalu aku masih saja belum bisa.
            “Maaf ya, Mir. Nggak seharusnya aku tanya gitu ke kamu...” Djorgi menunduk. Dia terlihat sangat menyesal.
            “Nggak, Djor. Nggak apa-apa. Sudah seharusnya aku kuat... dan melupakan Andar.” Aku mengusap sisa-sisa air mataku dan tersenyum padanya. Djorgi balas menatapku.
            “Mir, kamu percaya keajaiban nggak ?” Tiba-tiba pertanyaan aneh itu terlontar dari mulut Djorgi. Aku terkesiap.
            “Maksud kamu ?”
            “Mir, kamu harus kuat. Percaya, keajaiban itu ada.” Aku menatapnya tak mengerti.
            “Akan ada Andar lain di dunia nyata ini...” tangan Djorgi menggenggam tanganku. Aku tersentak kaget. Genggaman yang hangat. Sehangat tangan Andar setahun lalu. Genggamannya yang terakhir padaku.
            “Buka hati kamu buat orang lain ya, Mir. Andar pasti bahagia kalo aada yang bisa gantiin dia.” Djorgi menatapku dalam. Aku balas menatapnya. Perasaan apa ini ?
            “A..Aku nggak ngerti, Djor.”
            “Aku suka kamu, Mira. Aku sayang kamu.” Kaget. Kaget luar biasa.
            “Hah ?” Aku menatapnya tak mengerti.
            “Biarkan waktu yang bikin kamu tau ya. Tolong kasih aku kesempatan buat deket sama kamu, Mir. Ya ?” Aku melihat kesungguhan dari mata itu. Mata Djorgi. Entah menagapa sejak pertama kali bertemu perasaan ini berkata lain. Aku merasa begitu dekat dengannya, jauh sebelum aku mengenal dia.
            Aneh. Memang aneh dan aku pun tak tau mengapa. Djorgi, sosok itu. Memampukanku mengahadapi kenyataan kalau Andar sudah pergi. Djorgi juga yang membuatku percaya akan keajaiban. Aku merasa jauh lebih kuat.
            Pertemuan kami yang kedua, menjadi awal pertemuan kami selanjutnya. Aku tak lagi sendirian dan meratapi kematian Andar. Aku membagi kisahku dengan Djorgi. Menghabiskan separuh hariku hanya untuk bercerita padanya. Apapun itu. Aku merasa jauh lebih lega. Ada beban yang ku rasa pergi. Sebaliknya, ada kehangatan dan kebahagiaan yang menggantinya. Djorgi. Sosok itu. Seperti Andar kedua dalam hidupku. Memang belum ada hubungan spesial di antara kami karena aku menyadari, semua butuh waktu.
            Tapi Djorgi, darinya aku mengerti bagaimana caranya menghargai hidup ini, bagaimana caranya merelakan seseorang yang sudah pergi, dan sesuatu yang sudah tak ada. Terkadang orang merasa kuat, terkadang orang merasa mampu. Namun jauh dalam hatinya, beban itu belum hilang. Hidup terus berjalan dan berputar seperti roda. Dimana kesusahan itu datang, dan Tuhan mengirimkan malaikat tak terlihat yang tak kau sadari.
            Djorgi, dia seperti hadiah dari Tuhan untuk menghapus sisa perih dalam hatiku. Aku percaya di atas sana, Andar akan bahagia melihatku bisa merelakannya. Satu yang aku yakini, dia selalu ada disini. Di hatiku........ Sampai jumpa lagi, Andarku. Kuletakkan kedua tangannku di dada dan kupandang langit sore ini. Jogja tak lagi menangis. Langitnya cerah. Persis seperti hari itu. Samar-samar kulihat bayangan Andar disana. Tersenyum. Tersenyum menatapku tersenyum padanya. Sekali lagi aku percaya keajaiban itu. Aku percaya, Tuhan ada dan tak akan membiarkan umatNya rapuh dan jatuh. Selalu ada malaikat tak terlihat yang tak pernah kita sadari. Percayalah.


<3 faraa :))