Rabu, 15 Desember 2010

kapan kapan kapaaaaaaaaaaaan :o

hoaks
mabok sama materi-materi kuliah
pengen pulang kampung, ketemu keluarga, trus pergi liburan ke luar kota
pengen ganti suasana
bosen sama suasana perkotaan kayak gini
cuma ada mall, macet, asep polusi
huf ~

jadi inget, ternyata uda lamaaaaaaaaaa banget ga liburan yang bener-bener ganti suasana
uda lama ga ke pantai
ke gunung
ketemu aer laut
ketemu pasir
ketemu air terjun
ketemu udara seger






ini waktu liburan di Pangandaran waktu kenaikan ke kelas 3 SMA. liburan yang sangat berkesan , sangat menyenangkan :D
waktu itu mampir dulu ke Jogja , ketemu sama sodara, belanja macem-macem di Manding, trus lanjut ke Pangandaran.

aku kangeeeeeeeen suasana kaya gini
kangen berlibur bareng mereka
kapan ya bisa gini lagi, secara aku uda kuliah . .
beda liburnya sama adek yang masi SMP

papa janji, januari ntar kita bakal liburan bareng, karena natalan harus stay di Tegal
tapii . .ternyata liburku cuma sampe tanggal 10 aja
huaaaaaaa , aku kangeeeeeeeeeeen

kangen pantainya, kangen ombaknya, kangen resto seafoodnya, kangen pasar malemnya, kangen hotelnya, kangen suasananya, kangen tukang tatoo, kangen greencanyon, kangen waterpark, dan semuanyaaaaaaaa

pengen ke Pangandaran lagi :3
rasanya bagaikan tiruannya Bali hihi

ayoooooooooooooooooo pa, maaaaaa
kita liburaaaaaaaaaaaaaaaaannnnnnnnnn :)

Senin, 13 Desember 2010

yaa sudahlah :)

hari ini, 13 Desember 2010
apa mungkin ada kaitannya sama tanggal 13 ya , jadi hari ini pait
pait banget buat trima kenyataan . . .

sepait-paitnya kejadian di taun 2010 mungkin ini ya :)
disaat kita uda percaya sama orang, uda sayang sama orang, menganggap dia sperti sodara sendiri . .
disaat kita tulus, uda jujur apa adanya sama dia, kasih apa yang kita bisa semaksimal mungkin
dan berbalas
PENGKHIANATAN SEMPURNA


aku dijelek-jelekin di depan banyak orang
dianggap merepotkan
dan si dia , dia yang uda selama ini aku percaya ~
menggangap dirinya benar 100% , menganggap aku benalu
padahal . . .

belum lewat 24 jam kita sama-sama
ngabisin siang bareng
ketawa-ketiwi tanpa beban . . .

lalu . . .
dalam sekejap semua itu hilang
ilang tanpa bekas
seolah yang telah 4 bulan terakhir kita lakukan ga berarti apa-apa

semua yang pernah kita lewati bareng-bareng
seneng
ketawa
sedih
marah
sampe nangis . . . . . .

inget banget waktu aku sakit, kamu temenin aku ke poli . .
terus waktu kamu sakit, aku bikinin kamu teh anget  dan beliin kamu obat . .

inget waktu kita nangis sama-sama . .
inget waktu kita ke salon sama-sama . .
inget waktu kita tidur satu ranjang gara-gara takut gempa . .
inget waktu aku bobo di kamar kamu buat belajar dan bikin tugas . .
inget waktu kamu ngajarin aku dengan sabar
inget waktu aku anterin kamu ke kost pacarmu di siang bolong yang sangat panas . .
inget waktu kita belanja . .
inget waktu kita belajar kamera sama-sama . .
inget waktu kita pergi nonton berdua . .
inget waktu kita dandan berdua . .
inget ?
inget nggak ?

mungkin semuanya uda ga penting lagi
mungkin di matamu aku cuma fara yang merepotkan
yang selalu memaksakan kehendak
yang emosian
yang reaktif
yang bego
yang aneh
yang genit
yang bawel

mungkin . . :)

tapi asal kamu tau,
aku tulus
aku nggak pernah memperhitungkan apa yang uda aku lakuin ke kamu
aku nggak pernah menganggap semuanya beban
karena aku menganggapmu seperti saudara
menganggapmu sahabat dekat
seperti sahabat yang sudah ku kenal lama

tapi,
mungkin ini caramu membalas semuanya
menceritakan semua kejelekanku,
menganggapku merepotkan
dan perkataanmu yang paling menyakitkan adalah
"tanpa kamu pun aku bisa . aku ga butuh kamu . . ."


1 hal . .
kamu itu motivasi belajarku
aku selalu pengen jadi sepintar kamu
gara-gara kamu aku belajar mati-matian
gara-gara kamu aku semangat

makasih buat semua selama 4 bulan terakhir sepanjang kita kenal
maaf
maaf kalo menurutmu aku merepotkan
kalau memang kamu mau pergi,
pergilah . . . .
aku ga akan memaksa orang untuk jadi temanku
aku ga akan memaksa orang untuk ikuti mauku

kita uda sama-sama dewasa,
yang aku sayangkan, kamu ga sedikitpun berani ngomong langsung sama aku
akan lebih pahit kalo kaya gini
kita terpisah karena salah paham
terpisah karena paradigma yang salah
dan terpisah tanpa komunikasi

Good bye, bestie :)
makasih uda ada buat aku selama kita kenal
jujur, aku sayang kamu sperti aku sayang sahabat-sahabat yang ku kenal bertaun-taun
semoga kamu bahagia ya tanpa 'pengganggumu' , aku :)

Senin, 06 Desember 2010

semua ada saatnya

hey :)
mo sharing tentang perasaanku akhir-akhir ini

gak kerasa udah hampir 5 bulan hidup di Jogja
rasanya, banyak hal yang uda aku lewati selama kurun waktu itu
tapi hal yang paling bikin nyesek adalah waktu aku sendirian
sendirian buat aku itu ada 2 hal
1. sendirian di saat kita bener-bener seorang diri
2. disaat banyak orang namun rasanya tetep sepi

dan aku mengalami keduanya . .

***

ada banyak hal yang bikin kita gak bisa selalu bergantung sama orang lain
temen, pacar, orang tua. .
dan kalo saat itu tiba, itu artinya kita harus mengandalkan kemampuan diri sendiri untuk bertahan
termasuk mengerjakan semuanya sendirian

gak mau mungkir kalo kadang-kadang aku ngerasa gak sanggup
gimana mungkin ?
dulu semuanya selalu ada di sekitarku
sampai aku kesulitan membagi waktuku untuk mereka
tapi sekarang semuanya berubah
justru aku kekurangan kegiatan untuk menghabiskan waktu
karena ada saatnya, semuanya punya kegiatan masing-masing
mau mencari yang tak ada ?
haha , itu jelas gak mungkin
mereka jauh disana, dengan kegiatan mereka masing-masing

***

tapi, aku tau aku gak pernah bener-bener 'sendirian' :)
Thanks God, karena akhir-akhir ini aku boleh jauh lebih kuat menjalani semuanya walaupun kadang-kadang aku harus melakukan semuanya sendirian
walaupun yang lain sibuk dengan urusan mereka sendiri
walaupun yang lain tidak bisa menemaniku disaat aku butuh. .
makasih uda kasi aku perasaan sperti ini
perasaan yang santai menghadapi semuanya
walaupun harus ke gereja sendirian, makan sendirian, pergi sendirian. .
tapi aku gak merasa terbeban sedikitpun
makasih Tuhan, karena aku tau sudah seharusnya aku benar-benar mandiri . .

aku percaya suatu hari nanti aku akan merasakan yang pernah ku rasakan di akhir SMA kemarin. .
punya sahabat yang benar-benar selalu ada
punya seseorang yang juga ada disaat ku butuhkan
punya kegiatan yang mengisi penuh hari-hariku
dan semuanya :)

aku tau aku cuma butuh waktu
dan aku yakin semuanya akan berlalu dengan cepat
terus kuatkan aku, Tuhan. .
terus mampukan aku. .

everything is possible :) trust it .

Minggu, 05 Desember 2010

Barbie Boy *fictitious



                Lagi-lagi dia, lagi-lagi lelaki itu. Parasnya biasa saja. Rambutnya cepak, berkacamata, tinggi sekitar 175 cm, dan berwajah teduh. Sudah tiga kali aku bertemu dengannya. Menemukannya diantara tumpukan boneka barbie di supermarket ini. Memilih-milih, dan terkadang tersenyum kecil. Aneh sekali. Aku hanya mengamatinya dari jauh, keheranan dan hanya terdiam. Tak sampai 10 menit, dia beranjak. Tangannya menggenggam boneka barbie keluaran terbaru. Ia berjalan santai menuju kasir tanpa ragu sedikitpun. Aku hanya bisa memandangnya dari jauh sampai satu suara menyapaku dengan berat,
            “Permisi, mbak. .” Aku sontak terkejut. Aku menoleh dan tepat di belakangku, seorang petugas supermarket membawa kereta dorong berisi barbie. Rupanya aku menghalangi jalan.
            “Eh. .iya mas . .” Masih tergagap-gagap aku menyingkir dari tempatku. Petugas itu tersenyum dan mendorong keretanya menuju rak tempat lelaki aneh tadi memilih barbie. Petugas itu tampak kesal. Tangannya memunguti kotak-kotak barbie yang tercecer di lantai. Aku menghampirinya,
            “Kenapa, mas ?” Petugas itu menoleh. Aku menjajarinya. Ikut berjongkok di sebelahnya.
            “Ini nih, mbak. Selalu saja begini. Berantakan dan bercecer di lantai. Sampai capek saya membereskannya. .” Aku tertegun. Pasti lelaki aneh tadi yang membuat kotak barbie ini berceceran.
            “Ada apa, mbak ?” Petugas itu bertanya keheranan.
            “Eh, nggak ada apa-apa mas. Cuma tadi saya liat ada orang yang mencecerkan kotak barbie ini. .” Ujarku ragu.
            “Oh ya ? Laki-laki ya, mbak ? Kalau iya, berarti itu Mas Danang . .” Seketika raut wajah petugas itu berubah. Ia tertunduk lesu dan pucat. Aku semakin keheranan. Danang ? Siapa dia ?
            “Danang ? Mas kenal dia ?” Petugas itu menoleh. Matanya sayu dan sedikit berkaca-kaca.
            “Iya, mbak. Dia Mas Danang. Saya mengenalnya. Permisi dulu mbak, saya harus melanjutkan pekerjaan.” Aku belum sempat berkata apapun dan petugas itu pergi meninggalkanku. Aku semakin bingung. Tiba-tiba terdengar suara petugas dai pengeras suara. Mengucapkan terimakasih atas kehadiran pengunjung hari ini dan itu berarti supermarket ini akan segera tutup. Aku menghela nafas dan berjalan pergi. Dalam pikiranku berkecamuk banyak hal. Barbie, petugas itu, dan lelaki aneh itu. Danang . .

***

            Seminggu sudah sejak kejadian itu. Aku kembali ke toko yang sama dan pada jam yang sama. Jam setengah 9 malam di lantai dua. Aku melangkah gontai menuju deretan rak boneka. Langkahku terhenti melihat sosok itu. Danang. Berjongkok di depan rak barbie, dan lagi-lagi mencecerkannya. Memilih, dan tersenyum sendiri. Jantungku berdegup 2 kali lebih cepat. Aku menyadari sesuatu yang aneh. Setelah ku runtut kejadian selama sebulan ini, pada hari pertama di awal minggu lah aku selalu bertemu dengannya. Lagi-lagi pada jam, tempat, dan keadaan yang sama. Kuedarkan pandanganku mennyusuri sudut supermarket. Kucari petugas itu. Namun tak juga ku temukan. Sampai akhirnya Danang berdiri dan menuju kasir. Lagi-lagi menggenggam barbie dan berjalan dengan pandangan kosong. Seolah mengerti sesuatu, petugas kasir itu tak menanggapi tingkah aneh Danang. Ia hanya memandang dengan tatapan menyelidik, tak banyak bertanya, dan segera membereskan barang belian Danang. Tak menunggu lama, diraihnya kantong plastik itu dan berjalan cepat. Aku benar-benar penasaran. Ku tunggu di tempat itu, 1 menit, 2 menit, 5 menit, dan akhirnya suara berat itu kembali menyapaku.
            “Eh, si mbak yang waktu itu ya ?” Aku menoleh penuh harap, dan benar saja. Lelaki yang ku tunggu akhirnya datang juga. Petugas itu. Petugas yang sedari tadi kucari.
            “Mas . .” ujarku lega.
            “Iya, mbak. Ada apa ?” tanyanya heran melihat wajah pucatku. Aku butuh beberapa detik untuk mengembalikan konsentrasiku yang sesaat hilang karena Danang.
            “I. .itu mas . .Danang. .” Aku berkata terbata sambil menunjuk ceceran barbie di lantai. Petugas itu menghela nafas dan menghampiri tumpukan barbie yang tercecer. Aku mengikutinya.
            “Mas Danang. .Sampai kapan mau begini ?” Tatapan petugas itu begitu lesu dan sayu. Tangannya membereskan barbie yang bercecer dengan sabar.
            “Danang kenapa, Mas ?” Petugas itu terdiam. Beberapa detik kemudian Ia balas menatapku.
            “Kasihan dia, mbak. Saya. . Saya. .Ah, permisi mbak.” Petugas itu tak melanjutkan perkataannya. Ia beranjak pergi dengan cepat. Aku berlari mengejarnya.
            “Mas ! Mas tunggu !” Aku berlari sambil berteriak. Tapi sayang, pintu lift itu telah tertutup membawa petugas itu di dalamnya. Aku terdiam mengatur nafasku yang tersengal. Ada apa sebenarnya ? Aku benar-benar ingin tau. Namun waktu rupanya tak berpihak padaku. Lagi-lagi pengeras suara itu mengingatkanku untuk segera pulang karena supermarket akan segera tutup. Aku melangkah gontai sambil terus terdiam. Aku tak tahan lagi. Secepatnya akan ku ungkap semua keanehan ini. Barbie, petugas itu, dan lelaki aneh itu. Danang . .

***

            Tak perlu menunggu Senin tiba, keesokan harinya aku datang lebih cepat ke supermarket yang sama. Ku tunggu dari tempat yang tertutup supaya petugas itu tak menyadari kehadiranku dan justru kabur seperti kemarin. Aku mengambil posisi yang strategis. Rak buku-buku ini sepertinya cukup aman dan nyaman untuk melihat ke sekeliling. Termasuk ke arah rak barbie itu. Tak menunggu lama, petugas itu terlihat dari kejauhan. Ku amati perlahan, tak ada yang aneh dari dirinya. Tetap ceria menyapa rekan sekerjanya, dan tak ada yang istimewa. Perawakannya sedang, namun matanya, menyimpan rahasia besar yang tak terungkapkan. Ku amati terus sampai akhirnya yakin untuk menghampirinya.
            “Mas. .” Aku menyapanya perlahan. Seperti dugaanku, petugas itu terkejut dan bersiap untuk lari. Namun tanganku mencegahnya. Ku tarik tangannya dan sekuat tenaga mencegahnya berlari.
            “Tolong jangan lari, mas. Aku nggak akan macam-macam. Aku hanya ingin tau. Tentang barbie itu, dan tentang Danang. Ada apa ini, mas ?” Ujarku sedikit memohon. Persoalan ini memang sepele. Bahkan aku tak mengenal siapa Danang. Namun peristiwa ini sulit membuatku tidur nyenyak selama sebulan. Apalagi setelah pertemuanku dengan petugas ini. Akhirnya dia menyerah. Gerakannya melemah. Dia mengikuti kemauanku. Tatapannya berubah sayu.
            “Jadi ada apa ?” tanyaku perlahan. Aku tak ingin membuatnya tertekan. Kelihatannya suasana ini sudah cukup membuatnya takut.
            “Saya. .S. .Saya. .” Petugas itu berkata terbata-bata. Aku semakin tak sabar.
            “Eh. .Temui saya diloteng supermarket jam 3 sore ya, mbak. Sekarang saya harus bekerja. Permisi.” Petugas itu berkata singkat dan beranjak pergi. Aku tak sempat mencegahnya. Jam 3 sore di loteng supermarket. Astaga, ini benar-benar membuatku penasaran. Tak adakah tempat yang lebih aneh selain loteng supermarket ? Kulihat arloji perakku, jarumnya masih menunjuk angka 1. Aku menghela nafas dan berjalan menuju cafe di sudut supermarket ini. Kuhabiskan waktu menunggu jam 3 tiba. Sampai akhirnya waktu itu pun tiba. Aku melangkah menuju lift dan menekan tombol 3. Liftnya terbuka dan ku lihat petugas itu terduduk di sudut loteng. Aku menghampirinya.
            “Jadi ada apa, Mas ?” Aku berdiri radius setengah meter darinya. Loteng ini begitu sempit. Terlalu bahaya untuk berjalan semakin jauh. Ku lihat lantai dan besi pinggirannya sudah rapuh. Namun petugas itu tetap santai terduduk di sudutnya. Ku lihat besinya sudah hilang. Hanya ada jarak beberapa centimeter menuju dasar. Sungguh menyeramkan, pikirku.
            “Mbak ingin tau apa ?” pandangan petugas itu kosong. Menatap besi-besi penyangga itu dengan sayu.
            “Danang. .dan barbie. .” Aku mendesis pelan. Semakin kurasakan keanehannya. Petugas itu menatapku, dan menghela nafas sebelum akhirnya berkata-kata.
            “2 bulan lalu, kejadian menakutkan itu terjadi. .” Ucapannya terhenti. Petugas itu merubah posisi duduknya dan kini berhadapan denganku. Ia menarik nafas dan melanjutkan perkataannya.
            “Saya ingat betul, hari itu hari Senin. Tak lama lagi toko akan tutup. Namun Mas Danang dan adiknya masih saja berjongkok dan memilih-milih barbie. Saya masih ingat betul mereka berdua ada disana. .”
            “Lalu ?” Tanyaku lagi
            “Saat itu, saya sudah mulai mengunci beberapa pintu supermarket. Termasuk pintu loteng ini, mbak. Saya yakin betul, pintu ini sudah terkunci dengan baik.” Petugas itu semakin tertunduk. Matanya mulai berkaca-kaca.
            “Lalu ?” Tanyaku dengan pertanyaan yang sama.
            “Sampai akhirnya, saya terkejut melihat orang berlarian keluar supermarket sambil berteriak. Saya juga ikut berlari, mbak. Dan ternyata. . .”
            “Apa ?”
            “Pemandangan di luar supermarket begitu mengerikan. Seorang anak tewas terjatuh dari loteng supermarket, dan dia. .Dia adik Mas Danang, mbak.” Petugas itu tak sanggup lagi membendung air matanya. Aku terkesiap tak bisa berkata apa-apa. Ku rasakan kengerian luar biasa. Namun rasa penasaran itu masih melekat di otakku.
            “Tapi bagaimana bisa ? Bagaimana bisa anak sekecil itu naik ke atas loteng ? Dimana Danang ?’
            “Mas Danang hanya bisa diam melihat semuanya, mbak. Boneka barbie terbaru itu masih digenggamnya. Pandangannya kosong melihat jasad adiknya. .”
            “Maksudnya ?” Aku benar-benar tak memahami maksud omongan petugas ini.  Begitu berbelit-belit dan sulit dipahami.
            “Tanyakan pada Mas Danang, mbak. Ini alamatnya. Semakin ditanya, saya akan merasa bersalah. Walaupun saya terbukti tak bersalah dan kasus ini dianggap kecelakaan. .” Petugas itu menyerahkan secarik kertas dan beranjak pergi meninggalkanku. Aku mengikutinya sambil sedikit ketakutan. Namun petugas itu tak berkata apapun. Aku memutuskan mencari dia. Ya, Danang.

***

            Masih jam 4 sore saat langkahku terhenti di depan sebuah rumah berpagar putih. Gerbangnya tak terkunci, jadi kuputuskan untuk masuk. Aku mengetuk pintunya dengan sopan dan menunggu dibukakan. Tak lama kemudian sosok itu muncul. Danang.
            “Selamat sore. .” ujarku menyapanya. Dia menatapku keheranan
            “Ya, selamat sore. Cari siapa ?” balasnya dingin.
            “Kamu. Kamu Danang kan ?” dia semakin menatapku heran.
            “Ya. Ada perlu apa ?”
            “Boleh saya masuk ? Biar nanti kujelaskan.” Aku berusaha meyakinkannya. Beruntung Danang mengangguk. Aku tersenyum kecil dan memasuki ruang tamu itu. Tak terlalu besar. Namun pemandangan yang ku lihat begitu aneh. Ruang tamu yang lengkap dengan barbie dan peralatannya. Tampak sebuah miniatur rumah barbie dengan papan nama di depannya. “Marini” .
            “Ada apa ?” Danang menyapaku dengan ketus. Aku berbalik dan menatapnya.
            “Maaf kalau lancang, Danang. Aku hanya ingin bertanya tentang sesuatu yang sangat mengganjal pikiranku.” Aku berkata perlahan
            “Silahkan duduk.”
            “Ya, terimakasih.” Aku membalas ucapannya dengan senyuman. Dia menatapku menyelidik.
            “Tanya apa ?”
            “Ehm. .Sebenarnya, sudah 3 kali aku tak sengaja bertemu denganmu di supermarket depan gang itu. Maaf kalau aku lancang mengamatimu, Danang. .”
            “Maksudmu ?” Aku menghela nafas sebelum melanjutkan perkataanku.
            “Iya, aku mengamatimu, dan barbie itu. .” Danang terkesiap. Pandangannya berubah sayu. Dia tak sedikitpun menatapku.
            “Pasti kau menganggapku aneh ya. .” Ujarnya masih tetap menunduk
            “Sebenarnya ada apa, Danang ? Aku boleh tau ?” ujarku pelan
            “Ada yang sudah kamu ketaui ?” balasnya sambil menatapku tajam. Aku terkejut. Tak menyangka reaksinya akan seperti ini.
            “Petugas itu, Dan . .” Aku tak bisa menatapnya. Jujur aku takut.
            “Lukas. .” desis Danang penuh kebencian.
“Lukas ?” tanyaku perlahan
“Pembunuh !” Danang berteriak. Dia sontak berdiri dan menghancurkan sekelilingnya. Deretan barbie yang tertata rapi jadi berhamburan. Aku terkesiap dan hanya bisa terdiam. Danang menangis meraung-raung di sudut jendela. Tangisnya pecah tak tertahankan. Aku kaget luar biasa. Ku biarkan Danang menangis sampai dia tenang. Aku sendiri hanya bisa terdiam. Setengah jam berdiam diri, akhirnya tangisnya mereda. Danang memandangku,
            “Siapa namamu ?” Aku terkejut luar biasa.
            “Namaku. . Nina.” Aku balas menatapnya. Danang kacau luar biasa. Sisa-sisa air mata masih di pelupuk matanya.
            “Ada apa sebenarnya, Dan. .”
            “Nina, ikut aku ya.” Danang tak memberiku waktu lama untuk berpikir. Tangannya meraihku dan mengajakku pergi. Tak lama kemudian sedan hitam itu melaju cepat. Nafasku tertahan. Aku pergi bersama orang yang tak ku kenal !
            Sedan itu berhenti di pelataran pemakaman umum. Danang keluar dan berjalan memasuki pemakaman itu. Aku mengikutinya dari belakang. Hingga akhirnya langkahnya terhenti di depan sebuah nisan bertuliskan “Marini Adonia” . Danang berlutut di hadapan nisan itu. Aku hanya bisa diam dan mengikutinya.
            “Kamu lihat sendiri, ini hasil perbuatan pembunuh itu.” Danang berkata dingin. Aku menatapnya tak mengerti. Danang menghela nafas.
            “2 bulan lalu, Nin. .di supermarket itu. Marini merengek memintaku membelikannya barbie lagi. Untuk yang kesekian kalinya dan kali itu aku menolak.” Danang menarik nafas panjang.
            “Kenapa, Dan ?”
            “Entah, dan sampai sekarang aku menyesal. Amat sangat menyesal karena penolakanku berbuah pahit. Penolakanku berbayar nyawa Marini. .” Danang mulai menangis. Aku tak tahan lagi. Ku rengkuh pundaknya.
            “Tenanglah, Dan. Itu semua sudah takdir. Lagipula semua itu karena kecelakaan kan. .” Ujarku bermaksud menenangkan. Namun Danang melepaskan rengkuhanku. Dia menatapku tajam.
            “Kecelakaan ?” Desisnya. Nafasku tertahan.
            “Lukas bilang. .”
            “Persetan ! Kalau benar Lukas sudah mengunci pintu darurat itu, Marini tidak akan bisa memasukinya. Lalu lari sampai akhirnya tiang penyangga itu rubuh ke bawah dan Marini terjun bebas. Tidak akan !!!!” Danang menghardikku. Aku tersentak dan hanya bisa diam. Rupanya Danang menyadari kesalahannya. Dia menatapku.
            “Maaf, Nina. Ini semua memang salahku. Seharusnya waktu itu kubelikan saja Marini sebuah barbie. Tentu dia tak akan marah padaku dan lari meninggalkanku, sampai akhirnya kejadian naas itu terjadi. .” Danang terduduk lemas di hadapanku.
            “Dan. .Sudahlah. .Semua sudah terjadi. Marini sudah tenang disana. Tak ada yang perlu disesali, karena itu tak akan merubah sesuatu. Jangan lagi mengenang Marini dengan cara yang bodoh. Tak perlu rasanya datang ke supermarket pada hari yang sama, pada waktu yang sama, dan mencecerkan barbie itu sebelum membelinya. Kau pikir Marini senang ? Tidak, Dan.” Aku berkata sambil tetap menunduk. Aku tak punya kekuatan untuk menatap Danang. Dia tetap menatapku. Dalam, dan tajam.
            “Aku belum bisa terima semua ini, Nin. Tak akan pernah bisa. .”
            “Aku tau, tapi harus bisa, Dan. Marini akan sedih melihatmu hidup dalam dendam dan keputus-asaan. Sampai kapan ?” Aku berusaha menyadarkannya, namun Danang tak bergeming. Sampai akhirnya suara berat yang begitu ku kenal menyapa halus.         
            “Mas Danang. .” Kami menoleh. Ternyata benar, sangat ku kenal suaranya. Lukas. Danang menatapnya penuh kebencian. Sebaliknya, Lukas menatap nisan Marini dengan sayu.
            “Mau apa kau pembunuh ?” Desis Danang dengan geram.
            “Saya bukan pembunuh, Mas. .”
            “Dan. .” aku berusaha meredam emosi Danang.
            “Maafkan saya, Mas Danang. Tapi semua bukti menyatakan saya tak bersalah. Ini murni lepas dari kesalahan saya, Mas. Tolong maafkan saya. .” Danang mulai menangis. Sepertinya kali ini dia luluh.
            “Saya bawakan ini untuk Marini, Mas. “ Lukas menyodorkan satu kotak barbie. Namun tangan Danang tetap diam tak menyambutnya.
            “Danang. .Ayolah. .” Aku berusaha membujuknya. Danang menatapku, kemudian tangannya meraih kotak barbie dari tangan Lukas. Lukas tersenyum lega. Begitu juga denganku.
            “Aku sayang Marini. .” Danang menatap nisan itu dengan sayu. Pandangannya menyiratkan duka yang sangat dalam.
            “Saya turut menyesal atas kejadian itu, Mas Danang. .” Lukas merengkuh punggung Danang seolah turut merasakan duka yang sama. Akhir yang indah menurutku, karena setelah ini, Marini pasti akan tersenyum bahagia disana melihat Danang yang meninggalkan kebiasaan anehnya.
            Seminggu setelah peristiwa itu, di hari Senin seperti biasanya aku menilik supermarket itu. Jam setengah 9 malam di lantai 2. Ku amati perlahan dan seksama, sampai akhirnya aku menarik nafas lega. Tak ada lagi Danang disana. Tak ada lagi lelaki aneh yang mengamati barbie sambil tersenyum. Tak ada lagi lelaki aneh yang mencecerkan barbie-barbie itu sampai akhirnya memilih satu di antaranya.
Selamat tinggal barbie boy, mission completed.
           


*simple  handwriting
by : faranindya

Sabtu, 04 Desember 2010

aweeesomeeeee :D

YEAH :D
akhirnyaa setelah kesuraman menghinggapiku selama beberapa hari di awal desember ini, akhirnya keceriaan datang kembali setelah hari ini :D

yaa, hari ini 041210, aku booking waktu buat foto di studi foto exotic daerah babarsari yogyakarta
excited abeees :D
dan bener aja, semua kru melayani ku dengan total
dari makeup, wardrobe, asesoris, sampe fotografer melayani dengan senang hati dan sabar :)

aku pilih dress nuansa spanyol dan realset background glam
gak lupa pake makeup dan asesoris yang mendukung
akhirnya 58 jepretan pun dihasilkan

dari duduk, jongkok, berdiri, sampe tiduran pun aku jalanin deeeeh demi hasil yang memuaskan
then, dari 58 foto itu, cuma ku ambil 8 biji
dan 50 lainnya, say goodbye, kalian harus masuk recycle bin ! :D

totally happyyyyyyyyyy
puas luar biasa,

oya, berhubung aku foto di bulan ulang taun, jadi aku dapet harga spesial deh ^^
thanks to Yovena karena dengan setia mengantar dan menemaniku selama 3 jam hahaha
tros buat kru yang udah bikin hari ini sangat menyenangkaaaaaan :)
akan ada kunjungan selanjutnya setelah ini , pasti .
xixi :D

CLICKERS





very happy :D

Kamis, 02 Desember 2010

suram kelam kelabu

hellooooooooooo world . .
coba deh kasi tau, apa ada yang lebih suram dari hari ini ?
coba deh kalo ada, kasi tau aku biar aku ga ngerasa aku jadi orang tersuram hari ini
coba deh ,
ga ada kan ?
ya memang betul, hari ini saya resmi jadi orang paling suram ~ zz

pagi ini , aku bangun kesiangan
dan SUKSES buru-buru siap-siap ke kampus
benci banget kalo gini
serba ubur-ubur (baca : buru-buru)

then
dengan pedenya berangkat ngampus , syukurlaaaaaaah bu othie belom dateng
dan dengan pedenya duduk di tangga
dan dengan pedenya ketawa-ketiwi
dan dengan bodohnya, sadar
LAPORAN KETINGGALAN
ohhh, bagus sekaleee
buru-buru ambil langkah seribu ke king-kong
mo ngeprint ulang ceritanya

dan lagi-lagi dengan bodohnya sadar,
FILE NYA KEHAPUS GARA2 FLASHDISKNYA ABIS DIFORMAT
-________________________________-

ambil langkah sepuluh ribu balik ke kost an
dan berlari-larilah saya bolak-balik kampus-kost-kampus

dan singkat cerita sampe di kampus
dan menyerahkan laporan
dan nunggu giliran presentasi
dan presentasipun sukses
puji Tuhaaaaan -.-

lalu
sampe di kost, mo online . tapi
INTERNETNYA NGADAT
>< rasanya pengen tenggelem aja deh aneee .___. bahh !

lalu
KAMU
ya, KAMU
KAMU ITU !
malah ilang dan sibuk dengan semua urusan dan tetek bengek itu
bah !

sudahlah , cepet-cepet aja berakhir hari ini, 2 Desember 2010
dan cepet-cepetlah berganti hari
rasanya udah capek merasakan kesuraman di hari ini

- CLOSED -

Selasa, 30 November 2010

Jarum dalam Jerami *fictitious



                Selamat pagi dunia .. Rasanya semua hari sama saja bagiku. Matahari tetap terbit, awan tetap memayungi, dan angin tetap berhembus. Aku berjalan riang menuju kampus yang jaraknya hanya 0,6 km dari kost ku. Namaku Agistia. Usiaku belum genap 18 tahun dan aku punya prinsip kebanggaan. Walaupun banyak orang menganggap konyol prinsipku ini, tapi aku tak peduli. Aku tetaplah aku. Agistia Sarasandi, mahasiswi semester satu di fakultas kedokteran di salah satu universitas swasta di kota pelajar ini. Hidupku monoton setiap harinya. Tak ada yang istimewa untuk diceritakan, keculai cerita tentang aku, dan sahabat terbaikku.
                “Agis !” suara yang cempreng dan khas itu menyapa telingaku. Lamunanku buyar. Aku menoleh, dan ternyata aku memang mengenalnya. Dia Varas, sahabat senasib sepenanggunganku.
                “Girang amat ? Ada apaan ras ?” tanyaku heran. Baru pagi ini aku melihat dia riang dan bersemangat. Biasanya, pagi harinya selalu penuh dengan masalah sarapan, jerawat, diet, dan tentu saja pacar.
                “Hehe, tebak dong !” balasnya dengan senyum mengembang. Aku menarik nafas tak sabar. Rasanya ingin ku cubit pipi gembulnya itu dan ku tarik bibir manyunnya.
                “Ah kelamaan.” Aku berjalan lagi dan meninggalkan Varas. Dia hanya menggeleng kesal, mengejarku, dan memanggil-manggil namaku. Aku tak peduli, terus saja aku melangkah memasuki gedung kampus. Mencari bangku yang kosong dan duduk sambil tertawa terbahak-bahak melihat raut wajah Varas yang kelelahan karena mengikuti langkah cepatku. Aku tersenyum jahil dan kuisyaratkan akan mendengarkan ceritanya sepulang kuliah nanti. Dia hanya mengangguk mengiyakan.
                Sepulang kuliah, ku tepati janjiku untuk mendengarkan cerita Varas. Sambil duduk di bangku kantin, aku melahap dua tangkup roti bakar ,
                “Ada apa, nona ribet sedunia ? Ada cerita apa ?” tanyaku sambil terus mengunyah.
                “Akuuuuuuuuuu....... aku dapet kalung dari Riski !” ucapnya berapi-api. Senyum nya merekah dan tangannya memainkan bandul kalung yang tersemat di kalungnya. Ku amati sambil tersenyum. Bagus sekali, liontin perak berbentuk balerina.
                “Bagus, ras. Kenapa nggak sekalian cincin aja ? Cincin tunangan ! Hahahaha.”  Tawaku pecah. Varas berubah manyun. Tampaknya ia kesal karena responku tak seperti yang dia bayangkan.
                “Ih, malah becanda. Serius nih Gis, seriuuuuus.”
                “Serius apaan sih Ras ?” Hahahahaha.” Aku belum bisa menghentikan tawaku. Ini fakta tentangku, aku memang sulit untuk berhenti tertawa dan jujur aku merasa kerepotan.
                “Ih, berhentiin dulu kenapa sih ketawanya ? Ini tuh serius, Agis. Kapan kamu punya pacar ?” glek. Ucapan itu ampuh menghentikan tawaku. Aku menatapnya keheranan.     
                “Apa hubungannya sama aku, Ras ?”
                “Yaaaaa ada lah Gis. Ayo, buruan cari pacar makannya. Jadi bisa dapet hadih lucu kayak gini nih. Jangan Cuma bisanya ngeledekin aku doang.” Ujarnya lagi. Aku menatapnya sambil tersenyum kecil. Memang sih, di usiaku yang sudah lewat 17 tahun ini, belum pernah sekalipun aku memiliki pacar. Eits tunggu dulu, aku normal lho. Hanya saja selektif. Aku Cuma ingin yang terbaik kok, dan saat ini adalah prosesku untuk mencapai tujuanku itu.
                “Hellooooooooo ?” Varas melambaikan tangannya di depan wajahku. Menyadarkanku dari lamunan bodohku.
                “Hahahaha, iya Ras. Aku denger kok.”
                “Terus ?” Tanyanya bingung
                “Ya, nggak ada terusannya. Ah udahlah, ayo pulang .” Ucapku sambil menarik tangannya. Varas hanya mendengus kesal. Ya, dia adalah sahabatku yang paling menentang prinsipku ini. Aku selalu mengingat kata-katanya yang selalu sama untukku. Intinya, aku tak sejelek itu untuk terus menyandang status single, jomblo, or whateverlah. Intinya dia sibuk mendorongku untuk satu tujuan, yaitu mencari pacar. Titik.
                Hari berakhir dan berganti pagi lagi. Aku menarik selimutku untuk kembali memejamkan mata. Rasanya malas sekali. Hari ini hari sabtu, dan kampus libur. Senangnya, akhirnya bisa bersantai sejenak dari rutinitas yang membosankan. Ku ambil telepon genggamku dan tertulis “1 Pesan diterima”. Ku buka dan lagi-lagi satu nama, Varas. Aku tersenyum kecut. Kotak masuk pesanku cuma terdiri dari 4 nama dan selalu sama. Papa, mama, Varas, dan satu yang terakhir adalah operator. Memang selalu begini dan selalu begitu selama hidupku. Varas adalah sahabatku sejak aku SMA dan sekarang kami bertemu lagi di perguruan tinggi yang sama. Aku menghela nafas dan membaca pesan masuk darinya itu, “Cepetan mandi, temenin ke toko buku ya. PS : Gak pake lama mandinya.”
Aku membalas cepat dan mengiyakan. Aku bergegas mandi dan bersiap-siap.
                Aku berlari kecil menuju gerbang. Mobil berwarna putih itu sudah menunggu di depan. Kaca kemudinya terbuka. Kepala Varas menyembul dari sana. Kacamata hitam bertengger di atas kepalanya. Aku tersenyum kecil. Sahabatku ini memang sempurna. Cantik, pintar, dan mempesona. Berbeda jauh denganku yang selalu cuek dengan penampilanku. Pantas saja. Mungkin lelaki di luar sana menganggapku aneh sehingga tak berniat sedikitpun untuk mendekatiku.
                “Hello gendut. Rajin banget pagi-pagi ke toko buku ?” Ucapku iseng sambil memasang sabuk pengaman. Varas memonyongkan bibirnya mendengar ucapanku.
                “Emang aku gendut ya, Gis ? Beratku emang nambah beberapa pon sih.” Balasnya sambil menatap tubuhnya sendiri.
                “Hahaha, enggak kok Ras. Becanda” ucapku sambil tertawa keras. Varas memang sangat serius menjaga berat badannya. Maklum, dengan aktifitasnya sebagai model foto, dia memang harus ketat menjaga berat badannya.
                Mobil Varas menepi di pelataran toko buku. Kami berdua pun memasuki toko dan berpisah. Ya, selera bacaan kami memang berbeda. Varas selalu melihat majalah fashion dan makeup, sedangkan aku, selalu menilik buku novel dan musik. Tatapanku terhenti melihat sebuah novel berjudul Julia Quinn. Tinggal satu pula. Baru saja tanganku hendak meraihnya, tangan seseorang bersamaan mengambilnya juga. Aku menatap orang itu kesal. Ternyata seorang lelaki. Tatapannya sombong, dingin, dan tak bersahabat.
                “Aku duluan nih, mas.” Ucapku kesal. Lelaki itu menatapku dingin. Tangannya tetap saja mencengkeram buku yang juga ku pegang itu.
                “Aku duluan.” Ucapnya tak mau kalah. Aku kesal sekali. Aku tak yakin lelaki berpotongan seperti dia suka membaca novel drama seperti ini. Aneh.
                “Aku duluan. Buruan lepasin bukunya mas, aku mau bayar.” Hardikku kesal. Tapi tangannya tak kunjung melepas novel itu. Aku mendengus kesal. Aku benar-benar ingin membeli novel itu. Aku sudah membaca resensinya di internet dan aku merasa terkesan dengan jalan ceritanya.
                “Aku juga ingin membacanya. Kita beli bersama saja.” Ujarnya dingin. Aku mendengus kesal campur heran. Membelinya bersama ? Apa jadinya ? Membacanya bersama juga ? Dia pikir novel ini koran yang bisa dibaca satu berdua ?
                “Tapi . .” Ucapanku terputus. Lelaki itu menarik buku yang kupegang bersama tanganku menuju kasir. Aku terseok-seok mengikuti langkahnya. Semua orang menatap kami heran dan aneh. Bagaimana tidak, kami memang terlihat seperti orang gila yang memperebutkan sebuah buku, bahkan membawanya ke kasir bersama-sama.
                “Beli yang ini, mbak.” Ucap lelaki itu dingin. Petugas kasir itu menatap kami keheranan. Bagaimana tidak, salah satu dari kami tak ada yang mau mengalah untuk melepaskan buku itu.
                “Maaf, saya cek dulu ya barcodenya.” Ujar petugas itu sopan. Aku menatap lelaki aneh itu, dan dia balas menatapku. Kami melepas buku itu bersamaan dan mendengus kesal.
                “Agis, kemana aja sih ? Aku muter-muter cari kamu daritadi.” Varas menepuk pundakku dan menatapku heran.
                “Ini nih, Ras. Abis rebutan buku sama cowok aneh !” Ujarku sambil menunjuk lelaki di sampingku itu. Varas keheranan. Dahinya mengerut. Ia menatap lelaki itu dan menahan tawa.
                “Buku apaan sih ?”
                “Ini, novel drama. Aneh banget kan ?” ucapku kesal. Tawa Varas pecah. Dia terawa terbahak-bahak.
                “Ampun deh, ada cowok suka novel drama. Udahlah, Gis. Kita cari di tempat lain aja ya ?”
                “Nggak mau ! Aku duluan kok yang pegang bukunya.” Ucapku sengit. Lelaki itu menatapku tajam dan berkata datar,
                “Buruan bayar separuhnya.” Aku menatapnya terbelalak. Separuhnya ? Maksudnya ?? Astaga, aku benar-benar kesal. Ku ambil pecahan 20.000 dan 5.000 an. Ku berikan kepada petugas kasir yang juga menahan tawa. Lelaki itu sama sekali tak tersenyum. Tanganya dengan kasar mengambil plastik berisi novel itu dan berjalan keluar toko. Aku mengejarnya sambil berteriak,
                “Eh !” Dia berbalik tepat di hadapanku yang sedang berlari mengejarnya, dan bug ! aku menabrak dadanya.
                “Apa ?” Tanyanya tak sabar. Aku mendengus kesal dan malu sekali.
                “Aku juga mau baca.” Dia menatapku datar dan memberiku secarik kertas kecil. “085642775645”. Aku menatapnya heran.
                “Apa ini ?”
                “Nomer teleponku. Hubungi aku 3 hari lagi, nanti ku berikan novel ini padamu.” Dia berbalik dan berjalan keluar toko. Aku berdiri kebingungan dan menatap kertas di tanganku. Benar-benar cowok aneh. Varas menghampiriku khawatir.
                “Ada apaan sih, Gis ?”
                “Nih. “ aku menyerahkan kertas itu pada Varas. Dia menatapku keheranan.
                “Nomer telepon ? Buat apa, Gis ?”
                “Cowok aneh itu bilang, aku harus menghubunginya 3 hari lagi, baru dia akan menyerahkan buku itu buat aku. Aneh kan ?” Varas menatapku aneh. Dia menggaruk rambutnya pelan, dan satu kata yang dia ucapkan,
                “Sabar ya, Gis..” Aku hanya mengedikkan bahuku dan berjalan keluar toko.
                Hari hampir sore ketika aku sampai kembali. Kertas pemberian lelaki aneh itu masih ku genggam. Betul-betul hari yang aneh dan buruk. Aku menarik nafas panjang. Ini yang membuatku berpikir dua kali soal memilih lelaki. Kadang-kadang lelaki itu egois, semaunya sendiri, dan mengandalkan kekuatan fisik. Jarum itu semakin sulit dicari diantara jerami. Bagaimana mungkin menemukan sosok lelaki sempurna seperti yang ada di bayanganku ya. Mencari lelakiyang sama seperti ayah. Dewasa, rendah hati, dan penuh kasih sayang. Selama ini semua lelaki yang ku temui selalu sama saja. Terlebih musuhku waktu aku duduk di bangku SMP dulu. Aku ingat benar kejadian waktu itu. Namanya Aldorio. Tingkahnya bengal dan urakan. Selalu saja mengandalkan kekuatan fisiknya. Apapun maunya, harus selalu tersedia. Aku sangat membencinya, sampai kuputuskan pindah ke kota lain untuk menghindarinya. Terlebih setelah kejadian memalukan sepanjang masa itu. Setelah sekaleng cat tumpah di atas kepalaku karena kelakuannya, dan setelah aku tak bisa mengikuti ulangan matematika akhir semester karena harus pulang ke rumah membersihkan cat yang melekat pada tubuhku. Semenjak itu, cukup sudah. Pergilah kau, wahai semua lelaki dari hidupku. Kecuali ayahku tentunya. Sejak saat itulah aku tak begitu berharap bertemu lelaki, selain lelaki yang benar-benar tulus dan baik, yang sama seperti ayah. Satu yang kuingat dari Aldo, aku pernah membuat punggung tangan kanannya terluka karena kugores dengan cutter. Seingatku lukanya dalam, walaupun itu tak sebanding dengan apa yang telah dia perbuat kepadaku.
Tiga hari berlalu. Kupandangi lagi kertas pemberian lelaki itu. Ku ambil telepon genggamku dan kupencet tombolnya. 0,8,5,6,4,2,7,7,5,6,4,5, ujarku sambil menekan tombol angka. Terdengar nada sambung sebelum akhirnya suara dingin menjawab dari seberang sana.
                “Halo.”
                “Halo . .” balasku pelan.
                “Siapa ini ?”
                “Aku, mm, aku perempuan yang di toko buku itu. Aku, mm, mau ambil novelnya.” Ucapku terputus-putus. Aku canggung sekali. Belum pernah rasanya menelepon seorang lelaki.
                “Oh, kamu. Dimana alamatmu ? Biar aku antar.” Balasnya lagi.
                “Oh, alamatku. Mmm . .”
                “Ck, cepatlah. Sebelum aku berubah pikiran.” Ujarnya tak sabar.
                “Em, jalan Merak nomor 3. Kamu yakin mau kesini ?” tanyaku pelan.
                “Ya, tunggu aku setengah jam lagi.” Tut. Telepon terputus. Aku menarik nafas dan kebingungan. Apa ya yang harus aku lakukan. Padahal dia sangat menyebalkan, tapi kenapa aku bisa segugup ini.
                Tak sampai setengah jam, telepon genggamku berbunyi. Kulihat, ternyata nomor lelaki itu.
                “Halo ?”
                “Aku ada di depan.” Tut. Telepon itu mati lagi. Aku berlari kecil menuju pintu, dan benar saja. Disana ada lelaki aneh itu. Membelakangi pintu dan kakinya tak bisa diam mengetukkan tapak sepatunya ke lantai.
                “Hai.” Aku menyapanya ragu. Dia membalikkan badannya dan menatapku dingin.
                “Kamu . .”
                “Iya . .” jawabku bingung. Dia melongok melihat ke dalam ruang tamu. Dia mengedarkan pandangannya ke sekeliling tempatnya berdiri.
                “Masuk dulu . .” ujarku canggung. Lelaki itu mengikutiku masuk dan duduk di ruang tamu yang tak terlalu besar itu. Dia masih saja mengamati sekeliling ruangan sambil menatapnya dingin.
                “Maaf ya, berantakan.” Ujarku lagi. Lelaki itu menatapku dan mengedikkan bahunya tanda itu semua tak masalah. Dia mengeluarkan novel itu dari dalam tasnya. Menatapnya sebentar, dan menyodorkannya padaku.
                “Ini . .” Aku tersenyum senang, akhirnya aku bisa membaca novel terbaru itu. Baru saja hendak meraihnya, pandanganku tertumbuk pada sesuatu yang tak asing bagiku. Sebuah tanda yang sangat ku kenal. Aku terdiam beberapa saat. Ku tatap lelaki itu dengan teliti. Coba membandingkan dan mengingat-ingat sesuatu yang sudah lama sekali hilang. Lelaki itu menatapku aneh.
                “Ada apa ?” tanyanya heran dan curiga. Aku gugup dan mencoba sadar kembali.
                “Eh, itu . .Mm. .” ujarku gugup. Dia makin curiga.
                “Ada apa sih ???” Tanya nya tak sabar
                “Eh, itu. Emm, bekas luka di punggung tangan kananmu itu ?” Dia terkejut dan menatap punggung tangan kanannya. Bekas goresan dalam yang terlihat timbul itu terlihat dengan jelas. Aku tersentak. Sepertinya aku mengingat sesuatu. Eh, seseorang.
                “Bukan apa-apa. Cuma masa lalu.” Ujarnya dingin dan membuang pandangannya
                “Masa lalu ?” tanyaku pelan
                “Iya, ini semua karena dia.”
                “Dia ?” tanyaku tambah heran
                “Iya dia . .” ucapnya sambil berdiri dan berjalan ke dekat jendela besar di sisi ruang tamu.
                “Dia, cinta pertamaku. Dulu, aku memang selalu mencari perhatiannya. Apapun itu. Tapi ternyata, dia justru membenciku. Satu kenangan yang tertinggal setelah dia pergi, ya hanya ini. Hanya bekas luka ini. Bekas luka goresan cutter karena kemarahannya padaku waktu itu.” Deg. Aku tersentak mendengar penuturannya. Apa ???? Cerita itu ???? Jadi ? Dia ? Aldorio ?????
                “Kamu . . .” aku terduduk lemas. Dia menatapku keheranan.
                “Ya ? Ada apa ?”
                “Kamu . . . Jadi . . Kamu . . Aldorio ??” ucapku kaget. Lelaki itu tak kalah kagetnya denganku. Dia tersentak dan menatapku tajam. Dia memperhatikanku dari ujung rambut hingga ujung kaki. Pandangannya tak sedikitpun lepas dan terus lekat menyelidikiku.
                “A . . Agistia ?” ucapnya terbata-bata. Aku mengangguk sambil terus menatapnya. Astaga ! Apa lagi ini ? Pertemuan tak sengaja dengan orang yang sangat ku benci setelah 5 tahun berlalu ? Aldorio ? Musuhku selama SMP ? Lelaki yang membuatku memandang buruk semua lelaki ? Dia ada di depanku sekarang ?? Aku terhenyak dan terduduk lemas. Sama denganku, dia terduduk di lantai sambil terkaget-kaget dan keheranan. Mungkin dia berpikiran sama denganku. Sama kagetnya denganku. Belum habis kagetku, aku kembali dikejutkan oleh suara yang sangatku kenal itu. Varas.
                “Agiss !” teriaknya dari jauh. Varas keheranan melihat pemandangan di depannya. Aku yang terduduk pucat dan Aldorio di hadapanku yang sama-sama pucatnya.
                “Kalian ? Ada apa ?” Varas bertanya keheranan. Aku menyuruhnya duduk sebelum akhirnya aku menceritakan pertemuan aneh ini. Aldo masih saja terkaget-kaget dan hanya bisa diam. Sementara Varas, sama kagetnya dan hanya bisa tertawa sambil menggelengkan kepalanya.
                “Ckckckckck . . Kalian ini, dari dulu sampai sekarang. Pasti bertengkar. Kenapa bisa sih ??”
Aku cuma bisa tersenyum kecil. Kalau mengingat semua kejadian itu, rasanya Aldo yang sekarang ada di depanku ini ingin ku pukul dengan apapun untuk melampiaskan kemarahanku. Sayangnya tak bisa. Penampilannya benar-benar berubah dan terlihat dewasa, walaupun sifatnya yang menyebalkan dan tak mau kalah itu masih saja ada.
                Berawal dari pertemuan itu, hidupku berubah perlahan. Kami berdua sering bertemu setelah hari itu. Sekedar minum kopi, atau bercerita tentang masa lalu yang sangat menyebalkan itu. Tawaku tak pernah henti membayangkan kekonyolan di masa lalu itu. Setelah hari itu, pandangan burukku tentang Aldo sedikit berubah. Ternyata waktu benar-benar merubahnya menjadi sosok dewasa. Walaupun masih tetap dingin dan cuek.
                Kata maaf pun tak pernah henti kami berdua ucapkan. Untuk kekonyolan kaleng cat itu, bahkan untuk goresan di punggung tangan yang tak bisa hilang itu. Sampai pada suatu sore, aku merasakan sesuatu yang belum pernah kurasakan sebelumnya. Ya, perasaan aneh itu.
                “Gis . .Boleh tanya ?” Tawa kecilku berhenti mendengar ucapan Aldo.
                “Tanya apa, Do ?”
                “Kenapa sih, kamu. . . masih sendiri ?” tanyanya ragu. Aku membalasnya dengan senyuman kecil. Prinsip itu. Prinsip yang ada sejak kebencianku terhadapnya. Prinsip yang selalu ku jaga selama 5 tahun terakhir ini. Prinsip jarum dalam jerami.
                “Itu, bukan apa-apa, Do.” Balasku sambil tersenyum
                “Yaaa, tapi kenapa ?” tanyanya masih saja penasaran. Aku menarik nafas panjang sebelum akhirnya memutuskan menjawab.
                “Do. . Sesungguhnya setelah kejadian itu, kejadian kaleng cat itu, pola berpikirku tentang sosok seorang lelaki benar-benar berubah. Aku trauma, Do. Mungkin lebih tepatnya begitu. Aku merasa takut, kalau sifat lelaki yang egois dan sok kuat itu akan melukaiku lagi . .” Aku menarik nafas sejenak sebelum melanjutkan perkataanku.
                “Buatku, lelaki yang benar-benar baik dan tulus itu seperti mencari sebuah jarum dalam tumpukan jerami, Do. Sulit.” Aku tersenyum dan menatapnya.
                “Kalau kamu ?” Aldo balas menatapku dan juga tersenyum.
                “Aku. . Berusaha menjaga perasaanku, Gis. .” ucapnya lagi
                “Perasaan ?”
                “Ya.”
                “Untuk apa ?” tanyaku masih saja keheranan
                “Untuk cinta pertama itu. .” Ucapnya. Pendek dan begitu menyentakku.
                “Kamu, Gis. Kamu cinta pertamaku, dan kamu yang selama ini aku jaga di dalam sini. .” ujarnya sambil meletakkan tangan di dadanya. Aku menatapnya heran, kaget, dan bingung.
                “Maksudmu ?”
                “Buang jauh semua prinsipmu ya, Gis. Karena sesungguhnya, jarum itu sudah kamu temukan. .” Aku menatapnya keheranan. Aldo menarik tanganku dalam genggamannya. Dia menatapku, dalam dan begitu serius.
                “Aku yang membuat prinsip itu, dan aku juga yang akan mengakhirnya, Gis. I love you . .” Ucap Aldo yakin. Aku tersentak. Aku harap ini hanya lelucon. Ku tunggu bebeapa detik, dan tawa itu tak kunjung muncul. Apa ini serius ?
                “Gis ?” tanyanya lagi.
                “Eh ?” ucapku masih dengan kagetku itu.
                “Would you be mine ?” tanyanya pelan. Nafasku tertahan. Aku benar-benar kaget dan tak menyangka. Seorang Aldorio, musuh bebuyutanku sejak 5 tahun silam kini hadir lagi di hadapanku melalui pertemuan yang sama sekali tak disengaja. Dan kini, orang itu duduk di hadapanku. Menggenggam tanganku, dan menatap mataku dalam-dalam. Aku benar-benar tak tau harus berbuat apa-apa.
                “Agis ?” tanyanya lagi. Aku menatapnya gugup. Tatapannya meyakinkanku, sebelum akhirnya aku mengangguk dan tersenyum kecil. Dalam hatiku berkata, ‘jarumnya telah kutemukan..”

*simple handwriting
by : faranindya