Selasa, 30 November 2010

Jarum dalam Jerami *fictitious



                Selamat pagi dunia .. Rasanya semua hari sama saja bagiku. Matahari tetap terbit, awan tetap memayungi, dan angin tetap berhembus. Aku berjalan riang menuju kampus yang jaraknya hanya 0,6 km dari kost ku. Namaku Agistia. Usiaku belum genap 18 tahun dan aku punya prinsip kebanggaan. Walaupun banyak orang menganggap konyol prinsipku ini, tapi aku tak peduli. Aku tetaplah aku. Agistia Sarasandi, mahasiswi semester satu di fakultas kedokteran di salah satu universitas swasta di kota pelajar ini. Hidupku monoton setiap harinya. Tak ada yang istimewa untuk diceritakan, keculai cerita tentang aku, dan sahabat terbaikku.
                “Agis !” suara yang cempreng dan khas itu menyapa telingaku. Lamunanku buyar. Aku menoleh, dan ternyata aku memang mengenalnya. Dia Varas, sahabat senasib sepenanggunganku.
                “Girang amat ? Ada apaan ras ?” tanyaku heran. Baru pagi ini aku melihat dia riang dan bersemangat. Biasanya, pagi harinya selalu penuh dengan masalah sarapan, jerawat, diet, dan tentu saja pacar.
                “Hehe, tebak dong !” balasnya dengan senyum mengembang. Aku menarik nafas tak sabar. Rasanya ingin ku cubit pipi gembulnya itu dan ku tarik bibir manyunnya.
                “Ah kelamaan.” Aku berjalan lagi dan meninggalkan Varas. Dia hanya menggeleng kesal, mengejarku, dan memanggil-manggil namaku. Aku tak peduli, terus saja aku melangkah memasuki gedung kampus. Mencari bangku yang kosong dan duduk sambil tertawa terbahak-bahak melihat raut wajah Varas yang kelelahan karena mengikuti langkah cepatku. Aku tersenyum jahil dan kuisyaratkan akan mendengarkan ceritanya sepulang kuliah nanti. Dia hanya mengangguk mengiyakan.
                Sepulang kuliah, ku tepati janjiku untuk mendengarkan cerita Varas. Sambil duduk di bangku kantin, aku melahap dua tangkup roti bakar ,
                “Ada apa, nona ribet sedunia ? Ada cerita apa ?” tanyaku sambil terus mengunyah.
                “Akuuuuuuuuuu....... aku dapet kalung dari Riski !” ucapnya berapi-api. Senyum nya merekah dan tangannya memainkan bandul kalung yang tersemat di kalungnya. Ku amati sambil tersenyum. Bagus sekali, liontin perak berbentuk balerina.
                “Bagus, ras. Kenapa nggak sekalian cincin aja ? Cincin tunangan ! Hahahaha.”  Tawaku pecah. Varas berubah manyun. Tampaknya ia kesal karena responku tak seperti yang dia bayangkan.
                “Ih, malah becanda. Serius nih Gis, seriuuuuus.”
                “Serius apaan sih Ras ?” Hahahahaha.” Aku belum bisa menghentikan tawaku. Ini fakta tentangku, aku memang sulit untuk berhenti tertawa dan jujur aku merasa kerepotan.
                “Ih, berhentiin dulu kenapa sih ketawanya ? Ini tuh serius, Agis. Kapan kamu punya pacar ?” glek. Ucapan itu ampuh menghentikan tawaku. Aku menatapnya keheranan.     
                “Apa hubungannya sama aku, Ras ?”
                “Yaaaaa ada lah Gis. Ayo, buruan cari pacar makannya. Jadi bisa dapet hadih lucu kayak gini nih. Jangan Cuma bisanya ngeledekin aku doang.” Ujarnya lagi. Aku menatapnya sambil tersenyum kecil. Memang sih, di usiaku yang sudah lewat 17 tahun ini, belum pernah sekalipun aku memiliki pacar. Eits tunggu dulu, aku normal lho. Hanya saja selektif. Aku Cuma ingin yang terbaik kok, dan saat ini adalah prosesku untuk mencapai tujuanku itu.
                “Hellooooooooo ?” Varas melambaikan tangannya di depan wajahku. Menyadarkanku dari lamunan bodohku.
                “Hahahaha, iya Ras. Aku denger kok.”
                “Terus ?” Tanyanya bingung
                “Ya, nggak ada terusannya. Ah udahlah, ayo pulang .” Ucapku sambil menarik tangannya. Varas hanya mendengus kesal. Ya, dia adalah sahabatku yang paling menentang prinsipku ini. Aku selalu mengingat kata-katanya yang selalu sama untukku. Intinya, aku tak sejelek itu untuk terus menyandang status single, jomblo, or whateverlah. Intinya dia sibuk mendorongku untuk satu tujuan, yaitu mencari pacar. Titik.
                Hari berakhir dan berganti pagi lagi. Aku menarik selimutku untuk kembali memejamkan mata. Rasanya malas sekali. Hari ini hari sabtu, dan kampus libur. Senangnya, akhirnya bisa bersantai sejenak dari rutinitas yang membosankan. Ku ambil telepon genggamku dan tertulis “1 Pesan diterima”. Ku buka dan lagi-lagi satu nama, Varas. Aku tersenyum kecut. Kotak masuk pesanku cuma terdiri dari 4 nama dan selalu sama. Papa, mama, Varas, dan satu yang terakhir adalah operator. Memang selalu begini dan selalu begitu selama hidupku. Varas adalah sahabatku sejak aku SMA dan sekarang kami bertemu lagi di perguruan tinggi yang sama. Aku menghela nafas dan membaca pesan masuk darinya itu, “Cepetan mandi, temenin ke toko buku ya. PS : Gak pake lama mandinya.”
Aku membalas cepat dan mengiyakan. Aku bergegas mandi dan bersiap-siap.
                Aku berlari kecil menuju gerbang. Mobil berwarna putih itu sudah menunggu di depan. Kaca kemudinya terbuka. Kepala Varas menyembul dari sana. Kacamata hitam bertengger di atas kepalanya. Aku tersenyum kecil. Sahabatku ini memang sempurna. Cantik, pintar, dan mempesona. Berbeda jauh denganku yang selalu cuek dengan penampilanku. Pantas saja. Mungkin lelaki di luar sana menganggapku aneh sehingga tak berniat sedikitpun untuk mendekatiku.
                “Hello gendut. Rajin banget pagi-pagi ke toko buku ?” Ucapku iseng sambil memasang sabuk pengaman. Varas memonyongkan bibirnya mendengar ucapanku.
                “Emang aku gendut ya, Gis ? Beratku emang nambah beberapa pon sih.” Balasnya sambil menatap tubuhnya sendiri.
                “Hahaha, enggak kok Ras. Becanda” ucapku sambil tertawa keras. Varas memang sangat serius menjaga berat badannya. Maklum, dengan aktifitasnya sebagai model foto, dia memang harus ketat menjaga berat badannya.
                Mobil Varas menepi di pelataran toko buku. Kami berdua pun memasuki toko dan berpisah. Ya, selera bacaan kami memang berbeda. Varas selalu melihat majalah fashion dan makeup, sedangkan aku, selalu menilik buku novel dan musik. Tatapanku terhenti melihat sebuah novel berjudul Julia Quinn. Tinggal satu pula. Baru saja tanganku hendak meraihnya, tangan seseorang bersamaan mengambilnya juga. Aku menatap orang itu kesal. Ternyata seorang lelaki. Tatapannya sombong, dingin, dan tak bersahabat.
                “Aku duluan nih, mas.” Ucapku kesal. Lelaki itu menatapku dingin. Tangannya tetap saja mencengkeram buku yang juga ku pegang itu.
                “Aku duluan.” Ucapnya tak mau kalah. Aku kesal sekali. Aku tak yakin lelaki berpotongan seperti dia suka membaca novel drama seperti ini. Aneh.
                “Aku duluan. Buruan lepasin bukunya mas, aku mau bayar.” Hardikku kesal. Tapi tangannya tak kunjung melepas novel itu. Aku mendengus kesal. Aku benar-benar ingin membeli novel itu. Aku sudah membaca resensinya di internet dan aku merasa terkesan dengan jalan ceritanya.
                “Aku juga ingin membacanya. Kita beli bersama saja.” Ujarnya dingin. Aku mendengus kesal campur heran. Membelinya bersama ? Apa jadinya ? Membacanya bersama juga ? Dia pikir novel ini koran yang bisa dibaca satu berdua ?
                “Tapi . .” Ucapanku terputus. Lelaki itu menarik buku yang kupegang bersama tanganku menuju kasir. Aku terseok-seok mengikuti langkahnya. Semua orang menatap kami heran dan aneh. Bagaimana tidak, kami memang terlihat seperti orang gila yang memperebutkan sebuah buku, bahkan membawanya ke kasir bersama-sama.
                “Beli yang ini, mbak.” Ucap lelaki itu dingin. Petugas kasir itu menatap kami keheranan. Bagaimana tidak, salah satu dari kami tak ada yang mau mengalah untuk melepaskan buku itu.
                “Maaf, saya cek dulu ya barcodenya.” Ujar petugas itu sopan. Aku menatap lelaki aneh itu, dan dia balas menatapku. Kami melepas buku itu bersamaan dan mendengus kesal.
                “Agis, kemana aja sih ? Aku muter-muter cari kamu daritadi.” Varas menepuk pundakku dan menatapku heran.
                “Ini nih, Ras. Abis rebutan buku sama cowok aneh !” Ujarku sambil menunjuk lelaki di sampingku itu. Varas keheranan. Dahinya mengerut. Ia menatap lelaki itu dan menahan tawa.
                “Buku apaan sih ?”
                “Ini, novel drama. Aneh banget kan ?” ucapku kesal. Tawa Varas pecah. Dia terawa terbahak-bahak.
                “Ampun deh, ada cowok suka novel drama. Udahlah, Gis. Kita cari di tempat lain aja ya ?”
                “Nggak mau ! Aku duluan kok yang pegang bukunya.” Ucapku sengit. Lelaki itu menatapku tajam dan berkata datar,
                “Buruan bayar separuhnya.” Aku menatapnya terbelalak. Separuhnya ? Maksudnya ?? Astaga, aku benar-benar kesal. Ku ambil pecahan 20.000 dan 5.000 an. Ku berikan kepada petugas kasir yang juga menahan tawa. Lelaki itu sama sekali tak tersenyum. Tanganya dengan kasar mengambil plastik berisi novel itu dan berjalan keluar toko. Aku mengejarnya sambil berteriak,
                “Eh !” Dia berbalik tepat di hadapanku yang sedang berlari mengejarnya, dan bug ! aku menabrak dadanya.
                “Apa ?” Tanyanya tak sabar. Aku mendengus kesal dan malu sekali.
                “Aku juga mau baca.” Dia menatapku datar dan memberiku secarik kertas kecil. “085642775645”. Aku menatapnya heran.
                “Apa ini ?”
                “Nomer teleponku. Hubungi aku 3 hari lagi, nanti ku berikan novel ini padamu.” Dia berbalik dan berjalan keluar toko. Aku berdiri kebingungan dan menatap kertas di tanganku. Benar-benar cowok aneh. Varas menghampiriku khawatir.
                “Ada apaan sih, Gis ?”
                “Nih. “ aku menyerahkan kertas itu pada Varas. Dia menatapku keheranan.
                “Nomer telepon ? Buat apa, Gis ?”
                “Cowok aneh itu bilang, aku harus menghubunginya 3 hari lagi, baru dia akan menyerahkan buku itu buat aku. Aneh kan ?” Varas menatapku aneh. Dia menggaruk rambutnya pelan, dan satu kata yang dia ucapkan,
                “Sabar ya, Gis..” Aku hanya mengedikkan bahuku dan berjalan keluar toko.
                Hari hampir sore ketika aku sampai kembali. Kertas pemberian lelaki aneh itu masih ku genggam. Betul-betul hari yang aneh dan buruk. Aku menarik nafas panjang. Ini yang membuatku berpikir dua kali soal memilih lelaki. Kadang-kadang lelaki itu egois, semaunya sendiri, dan mengandalkan kekuatan fisik. Jarum itu semakin sulit dicari diantara jerami. Bagaimana mungkin menemukan sosok lelaki sempurna seperti yang ada di bayanganku ya. Mencari lelakiyang sama seperti ayah. Dewasa, rendah hati, dan penuh kasih sayang. Selama ini semua lelaki yang ku temui selalu sama saja. Terlebih musuhku waktu aku duduk di bangku SMP dulu. Aku ingat benar kejadian waktu itu. Namanya Aldorio. Tingkahnya bengal dan urakan. Selalu saja mengandalkan kekuatan fisiknya. Apapun maunya, harus selalu tersedia. Aku sangat membencinya, sampai kuputuskan pindah ke kota lain untuk menghindarinya. Terlebih setelah kejadian memalukan sepanjang masa itu. Setelah sekaleng cat tumpah di atas kepalaku karena kelakuannya, dan setelah aku tak bisa mengikuti ulangan matematika akhir semester karena harus pulang ke rumah membersihkan cat yang melekat pada tubuhku. Semenjak itu, cukup sudah. Pergilah kau, wahai semua lelaki dari hidupku. Kecuali ayahku tentunya. Sejak saat itulah aku tak begitu berharap bertemu lelaki, selain lelaki yang benar-benar tulus dan baik, yang sama seperti ayah. Satu yang kuingat dari Aldo, aku pernah membuat punggung tangan kanannya terluka karena kugores dengan cutter. Seingatku lukanya dalam, walaupun itu tak sebanding dengan apa yang telah dia perbuat kepadaku.
Tiga hari berlalu. Kupandangi lagi kertas pemberian lelaki itu. Ku ambil telepon genggamku dan kupencet tombolnya. 0,8,5,6,4,2,7,7,5,6,4,5, ujarku sambil menekan tombol angka. Terdengar nada sambung sebelum akhirnya suara dingin menjawab dari seberang sana.
                “Halo.”
                “Halo . .” balasku pelan.
                “Siapa ini ?”
                “Aku, mm, aku perempuan yang di toko buku itu. Aku, mm, mau ambil novelnya.” Ucapku terputus-putus. Aku canggung sekali. Belum pernah rasanya menelepon seorang lelaki.
                “Oh, kamu. Dimana alamatmu ? Biar aku antar.” Balasnya lagi.
                “Oh, alamatku. Mmm . .”
                “Ck, cepatlah. Sebelum aku berubah pikiran.” Ujarnya tak sabar.
                “Em, jalan Merak nomor 3. Kamu yakin mau kesini ?” tanyaku pelan.
                “Ya, tunggu aku setengah jam lagi.” Tut. Telepon terputus. Aku menarik nafas dan kebingungan. Apa ya yang harus aku lakukan. Padahal dia sangat menyebalkan, tapi kenapa aku bisa segugup ini.
                Tak sampai setengah jam, telepon genggamku berbunyi. Kulihat, ternyata nomor lelaki itu.
                “Halo ?”
                “Aku ada di depan.” Tut. Telepon itu mati lagi. Aku berlari kecil menuju pintu, dan benar saja. Disana ada lelaki aneh itu. Membelakangi pintu dan kakinya tak bisa diam mengetukkan tapak sepatunya ke lantai.
                “Hai.” Aku menyapanya ragu. Dia membalikkan badannya dan menatapku dingin.
                “Kamu . .”
                “Iya . .” jawabku bingung. Dia melongok melihat ke dalam ruang tamu. Dia mengedarkan pandangannya ke sekeliling tempatnya berdiri.
                “Masuk dulu . .” ujarku canggung. Lelaki itu mengikutiku masuk dan duduk di ruang tamu yang tak terlalu besar itu. Dia masih saja mengamati sekeliling ruangan sambil menatapnya dingin.
                “Maaf ya, berantakan.” Ujarku lagi. Lelaki itu menatapku dan mengedikkan bahunya tanda itu semua tak masalah. Dia mengeluarkan novel itu dari dalam tasnya. Menatapnya sebentar, dan menyodorkannya padaku.
                “Ini . .” Aku tersenyum senang, akhirnya aku bisa membaca novel terbaru itu. Baru saja hendak meraihnya, pandanganku tertumbuk pada sesuatu yang tak asing bagiku. Sebuah tanda yang sangat ku kenal. Aku terdiam beberapa saat. Ku tatap lelaki itu dengan teliti. Coba membandingkan dan mengingat-ingat sesuatu yang sudah lama sekali hilang. Lelaki itu menatapku aneh.
                “Ada apa ?” tanyanya heran dan curiga. Aku gugup dan mencoba sadar kembali.
                “Eh, itu . .Mm. .” ujarku gugup. Dia makin curiga.
                “Ada apa sih ???” Tanya nya tak sabar
                “Eh, itu. Emm, bekas luka di punggung tangan kananmu itu ?” Dia terkejut dan menatap punggung tangan kanannya. Bekas goresan dalam yang terlihat timbul itu terlihat dengan jelas. Aku tersentak. Sepertinya aku mengingat sesuatu. Eh, seseorang.
                “Bukan apa-apa. Cuma masa lalu.” Ujarnya dingin dan membuang pandangannya
                “Masa lalu ?” tanyaku pelan
                “Iya, ini semua karena dia.”
                “Dia ?” tanyaku tambah heran
                “Iya dia . .” ucapnya sambil berdiri dan berjalan ke dekat jendela besar di sisi ruang tamu.
                “Dia, cinta pertamaku. Dulu, aku memang selalu mencari perhatiannya. Apapun itu. Tapi ternyata, dia justru membenciku. Satu kenangan yang tertinggal setelah dia pergi, ya hanya ini. Hanya bekas luka ini. Bekas luka goresan cutter karena kemarahannya padaku waktu itu.” Deg. Aku tersentak mendengar penuturannya. Apa ???? Cerita itu ???? Jadi ? Dia ? Aldorio ?????
                “Kamu . . .” aku terduduk lemas. Dia menatapku keheranan.
                “Ya ? Ada apa ?”
                “Kamu . . . Jadi . . Kamu . . Aldorio ??” ucapku kaget. Lelaki itu tak kalah kagetnya denganku. Dia tersentak dan menatapku tajam. Dia memperhatikanku dari ujung rambut hingga ujung kaki. Pandangannya tak sedikitpun lepas dan terus lekat menyelidikiku.
                “A . . Agistia ?” ucapnya terbata-bata. Aku mengangguk sambil terus menatapnya. Astaga ! Apa lagi ini ? Pertemuan tak sengaja dengan orang yang sangat ku benci setelah 5 tahun berlalu ? Aldorio ? Musuhku selama SMP ? Lelaki yang membuatku memandang buruk semua lelaki ? Dia ada di depanku sekarang ?? Aku terhenyak dan terduduk lemas. Sama denganku, dia terduduk di lantai sambil terkaget-kaget dan keheranan. Mungkin dia berpikiran sama denganku. Sama kagetnya denganku. Belum habis kagetku, aku kembali dikejutkan oleh suara yang sangatku kenal itu. Varas.
                “Agiss !” teriaknya dari jauh. Varas keheranan melihat pemandangan di depannya. Aku yang terduduk pucat dan Aldorio di hadapanku yang sama-sama pucatnya.
                “Kalian ? Ada apa ?” Varas bertanya keheranan. Aku menyuruhnya duduk sebelum akhirnya aku menceritakan pertemuan aneh ini. Aldo masih saja terkaget-kaget dan hanya bisa diam. Sementara Varas, sama kagetnya dan hanya bisa tertawa sambil menggelengkan kepalanya.
                “Ckckckckck . . Kalian ini, dari dulu sampai sekarang. Pasti bertengkar. Kenapa bisa sih ??”
Aku cuma bisa tersenyum kecil. Kalau mengingat semua kejadian itu, rasanya Aldo yang sekarang ada di depanku ini ingin ku pukul dengan apapun untuk melampiaskan kemarahanku. Sayangnya tak bisa. Penampilannya benar-benar berubah dan terlihat dewasa, walaupun sifatnya yang menyebalkan dan tak mau kalah itu masih saja ada.
                Berawal dari pertemuan itu, hidupku berubah perlahan. Kami berdua sering bertemu setelah hari itu. Sekedar minum kopi, atau bercerita tentang masa lalu yang sangat menyebalkan itu. Tawaku tak pernah henti membayangkan kekonyolan di masa lalu itu. Setelah hari itu, pandangan burukku tentang Aldo sedikit berubah. Ternyata waktu benar-benar merubahnya menjadi sosok dewasa. Walaupun masih tetap dingin dan cuek.
                Kata maaf pun tak pernah henti kami berdua ucapkan. Untuk kekonyolan kaleng cat itu, bahkan untuk goresan di punggung tangan yang tak bisa hilang itu. Sampai pada suatu sore, aku merasakan sesuatu yang belum pernah kurasakan sebelumnya. Ya, perasaan aneh itu.
                “Gis . .Boleh tanya ?” Tawa kecilku berhenti mendengar ucapan Aldo.
                “Tanya apa, Do ?”
                “Kenapa sih, kamu. . . masih sendiri ?” tanyanya ragu. Aku membalasnya dengan senyuman kecil. Prinsip itu. Prinsip yang ada sejak kebencianku terhadapnya. Prinsip yang selalu ku jaga selama 5 tahun terakhir ini. Prinsip jarum dalam jerami.
                “Itu, bukan apa-apa, Do.” Balasku sambil tersenyum
                “Yaaa, tapi kenapa ?” tanyanya masih saja penasaran. Aku menarik nafas panjang sebelum akhirnya memutuskan menjawab.
                “Do. . Sesungguhnya setelah kejadian itu, kejadian kaleng cat itu, pola berpikirku tentang sosok seorang lelaki benar-benar berubah. Aku trauma, Do. Mungkin lebih tepatnya begitu. Aku merasa takut, kalau sifat lelaki yang egois dan sok kuat itu akan melukaiku lagi . .” Aku menarik nafas sejenak sebelum melanjutkan perkataanku.
                “Buatku, lelaki yang benar-benar baik dan tulus itu seperti mencari sebuah jarum dalam tumpukan jerami, Do. Sulit.” Aku tersenyum dan menatapnya.
                “Kalau kamu ?” Aldo balas menatapku dan juga tersenyum.
                “Aku. . Berusaha menjaga perasaanku, Gis. .” ucapnya lagi
                “Perasaan ?”
                “Ya.”
                “Untuk apa ?” tanyaku masih saja keheranan
                “Untuk cinta pertama itu. .” Ucapnya. Pendek dan begitu menyentakku.
                “Kamu, Gis. Kamu cinta pertamaku, dan kamu yang selama ini aku jaga di dalam sini. .” ujarnya sambil meletakkan tangan di dadanya. Aku menatapnya heran, kaget, dan bingung.
                “Maksudmu ?”
                “Buang jauh semua prinsipmu ya, Gis. Karena sesungguhnya, jarum itu sudah kamu temukan. .” Aku menatapnya keheranan. Aldo menarik tanganku dalam genggamannya. Dia menatapku, dalam dan begitu serius.
                “Aku yang membuat prinsip itu, dan aku juga yang akan mengakhirnya, Gis. I love you . .” Ucap Aldo yakin. Aku tersentak. Aku harap ini hanya lelucon. Ku tunggu bebeapa detik, dan tawa itu tak kunjung muncul. Apa ini serius ?
                “Gis ?” tanyanya lagi.
                “Eh ?” ucapku masih dengan kagetku itu.
                “Would you be mine ?” tanyanya pelan. Nafasku tertahan. Aku benar-benar kaget dan tak menyangka. Seorang Aldorio, musuh bebuyutanku sejak 5 tahun silam kini hadir lagi di hadapanku melalui pertemuan yang sama sekali tak disengaja. Dan kini, orang itu duduk di hadapanku. Menggenggam tanganku, dan menatap mataku dalam-dalam. Aku benar-benar tak tau harus berbuat apa-apa.
                “Agis ?” tanyanya lagi. Aku menatapnya gugup. Tatapannya meyakinkanku, sebelum akhirnya aku mengangguk dan tersenyum kecil. Dalam hatiku berkata, ‘jarumnya telah kutemukan..”

*simple handwriting
by : faranindya

Senin, 29 November 2010

Berbunga-bunga :D

lagi seneng akhir-akhir ini ,
walopun sering uring-uringan, tapi tingkahmu lucu banget si
aku jadi ketawa baca smsmu, denger suaramu
apalagi ketawamu waktu ngeledekin akuu hahaha

mentang-mentang lagi berbunga-bunga, bajunya juga ikutan berbunga-bunga nih *hahaapabanget


hueee baju ini juga hampir setahun mengendap di lemari , kasian sekali nasibnyaaaa. .
kayaknya baru ku pake sekali selama umurnya deh , waktu jjs ke pacific mall december kemaren
pelupa banget punya baju lucu begini , hooooaaaaa -o-

floral dress , MNG cardi, shoes by fladeo sz 39


oyaaa ingat, dress ini pemberian dari temen mama , yang dikasi barengan sama tube dress polkadots itu
makasi banyak tante ^^


sebenernya sukaaaa banget sama sepatu ini,
*masi inget beli di matahari department store galeria mall yogyakarta
tetapi eh tetapi . .
sepatunya suka bikin kaki ku lecet hukkkks Y_Y
apa yang salah ya, perasaan ukurannya pas kok
hoaaaaaaa -o-

at least, i love this style so mochooo :)

alesannya adalah karenaaaaaaaaa . . .
ya betul sekali ! 
soalnya motifnya floral , dan saya suka sekali motif bunga-bungaaaaaaaaaaa :)

cocok banget sama hati yang sedang berbunga-bunga :D hihi
bubyeee , see youuu*

Minggu, 28 November 2010

feelin blue without you . .

well heeeey :)
jst continue 'e last posting
*melanjutkan postingan kemarin* 

masih dalam acara 'bongkar lemari' bersama saya, Faranindya di channel pilihan anda, jstfaraa.blogspot.com

kali ini property dari 'bongkar lemari' yang ku pilih adalah :

  • Polkadots Tube Dress
  • Cardigan
  • Flats
-o-
Tube Dress yang ternyata mengendap di lemari selama setahun *astaga

baru sekali ku pake waktu kebaktian sebelum pernikahannya cc lina di gedung setiabudi . inget banget waktu itu dipake barengan stocking item.

xixi
dan sekarang baru ku pake lagi dengan gaya berbeda. is it weird ? .___.
DON'T SAY YES
hahaha :D


PS : pengen sekale nyepol rambut tanpa sisa , tapi sayangnya rambutku kepanjangan *walopun udah dipangkas habis sampai satu kilan. ugghh betebete

enjoooooy :)













Sabtu, 27 November 2010

Membongkar Lemari


hellooooooooooo :)
weekend yang tak sesuram minggu lalu
paling asik emang membuka lemari dan menjajal isinya :D

kebetulan pagi ini veronica a.k.a ve menyambangi kostku
sekalian saja minta jasa pemotretan hehe

ini dia hasilnya
tadaaaaaaaaaa . . .
dress by sixty outfitters
slayer bought at malioboro
wedges by bei luo shi
belt and purse unbrand

I LOVE THIS STYLE SO MUCH :)
*PS : the dress was bought at Matahari Department Store Grage Mall Cirebon for xmas party 2008 ^^

Jumat, 26 November 2010

Proudly

helloooooooooooooooooo
morning all :)

ini ceriteranya aku lagi iseng search di google
search namaku
hahaha gajelas banget
ehhh malah nemu ini . . .

kenangan 2 tahun yang lalu ,


<< click here :)
http://www.balaibahasajateng.web.id/index.php/read/berita_detail/3

Penyerahan Hadiah di Balai Bahasa Semarang

Best Moment

Me , 3 from left

All of participants


ini apaan yaaaah ? hihi
ini cuma apresiasi dari apa yang pernah aku tuliskan :)

ini diaaaaa . . . .
yang paling kubanggakan dari semua yang pernah ku tulis
selamat membaca :)


TELUNJUK SASHI

            Tak ada yang istimewa dari seorang Sashimita Ayodya. Dia hanyalah gadis biasa berusia 15 tahun dengan rambut lurus sebahu dan sepasang mata yang indah. Baru tiga bulan aku mengenalnya. Sashi pindah ke kota ini dan sekelas denganku. Tiga bulan berlalu dan Sashi tetap dengan kebiasaan anehnya, menyendiri, melamun, dan terkadang menangis. Aku tak pernah melihat sepasang mata indahnya itu berbinar. Yang tampak hanyalah sepasang mata yang selalu redup dan kosong. Menatap sesuatu tanpa ekspresi. Sashi seperti es yang membeku. Begitu dingin dan tak bersahabat. Oleh karena itulah dia tak memiliki seorangpun teman, karena semua temanku menganggap Sashi orang aneh.
            Namun tidak denganku. Sebenarnya, aku ingin sekali mengenalnya lebih dekat .Selama ini, yang kutahu tentang Sashi hanyalah alamat dan mata pelajaran kesukaannya. Sashi tinggal bersama neneknya di kota ini dan ia sangat menyukai pelajaran matematika. Sashi memang tak banyak bicara.mungkin baginya diam itu emas .Selalu tenang saat pelajaran, namun selalu mendapat nilai matematika yang bagus. Ulangannya tak pernah menyentuh angka delapan.Selalu sembilan, atau sepuluh.
            Bagaimana denganku? Namaku Irama Setia. Ayahku seorang musisi dan Ibuku seorang penulis. Aku sangat berbeda dengan Sashi. Sifatku yang ramah, membuatku memiliki banyak teman. Sebenarnya aku belum puas sebelum bisa mengenal Sashi lebih dekat. Aku merasa, banyak rahasia dalam diri Sashi yang sebenarnya ingin dia ceritakan. Namun, mungkin Sashi belum menemukan seseorang yang tepat untuknya berbagi cerita. Aku ingin sekali menjadi orang itu. Menjadi orang yang dipercaya oleh Sashi untuk membagi sebagian kisah hidupnya. Aku ingin membantu Sashi memulihkan rasa percaya dirinya dan mengubah pandangan teman-teman. Aku yakin, Sashi tidak seperti yang teman-teman pikirkan.
            Seperti pagi ini, disaat teman-teman sekelasku ramai membicarakan piknik kelas yang akan diadakan minggu depan, Sashi hanya duduk diam di pojok kelas. Seperti biasa, aku melihat matanya yang indah itu redup dan begitu kosong. Aku tak tahan lagi.Segera kudekati Sashi. Aku duduk di sampingnya.
            "Sashi..." Dia menatapku.namun aku tak mendapat kehangatan disana. Tatapan itu begitu dingin dan datar. Aku mengurungkan niatku untuk mengajaknya bicara lebih dalam. Aku segera mengalihkan pembicaraan.
            "Kamu ikut piknik kelas kan? Ikut ya? Acaranya pasti ramai sekali. Kapan lagi kita pergi bersama? Sebentar lagi kita akan lulus dari sekolah ini. Jadi, acara ini sekaligus menjadi perpisahan kelas kita." Ujarku antusias. Namun, Sashi tidak memberikan tanggapan positif. Ia hanya mengedikkan bahunya, lalu meninggalkanku yang terpaku. Aku bingung sekali.Sashi tampaknya benar-benar memiliki beban yang begitu berat. Sampai-sampai, dia tak mempedulikan aku.
            "Ra, buat apa kamu masih mempedulikan mayat hidup itu? Sudahlah! Ada atau tidak adanya dia dalam piknik kelas kita, tak akan ada bedanya!" Suryo, si ketua kelas berkata sinis.
            "Suryo! Kamu itu ketua kelas. Tak seharusnya kamu membeda-bedakan warga kelas kita. Sashi akan tetap ikut." Aku balas menghardiknya. Aku tak suka siapapun menjelek-jelekkan Sashi.
            "Terserah! Tapi jangan harap ada seorangpun yang akan membujuk mayat hidup itu untuk ikut. Atau kamu sendiri yang akan melakukannya. Memohon-mohon dia untuk ikut sementara dia tak mempedulikanmu sedikitpun seperti tadi"
             "Namanya Sashi! Bukan mayat hidup! Aku akan pastikan dia ikut." Aku berkata dan menatap Suryo dengan tajam. Aku benar-benar tak habis pikir.kenapa teman-teman begitu memojokkan Sashi. Aku berlari keluar kelas diiringi tatapan sinis teman-temanku. Mungkin, mereka pikir aku sama anehnya dengan Sashi. Tapi, aku benar-benar tak peduli. Aku harus mencari Sashi dan mengajaknya ikut piknik. Mungkin, dengan jalan inilah aku bisa sediki demi sedikit masuk ke dalam kehidupan Sashi dan membantunya menyelesaikan masalah.
            Aku menemukan Sashi di taman. Sama seperti biasa, dia duduk sendiri. Melamun sambil terkadang tangannya mengusap airmata yang perlahan menetes. Aku memutuskan untuk menghampirinya.
            "Sashi.." Dia kembali menatapku. Sesaat dia hendak pergi namun aku sempat menahan tangannya.
            "Tolong.jangan buat aku bingung. Kalau ada masalah, ceritakan padaku. Kamu bisa mempercayaiku." Aku berhasil menahan Sashi. Dia tak berkata apa-apa namun sontak memelukku. Ada yang berbeda. Pelukan itu begitu erat. Tampaknya, Ia sudah lama mengharapkan pelukan hangat seorang sahabat. Bukan teman yang hanya mengolok-olok dan memojokannya.
            "Irama..Aku percaya, hanya kamu yang bisa memahamiku." Kata-kata itu tak seberapa panjang. Begitu singkat bahkan. Namun, aku sangat senang, Sashi sudah mempercayaiku.
            "Ya, Sash..Aku janji. Aku akan selalu ada disampingmu. Aku akan selalu mendengarkan ceritamu." Sashi tak menjawab lagi. Ia hanya mengangguk.hari ini, aku tak banyak memperoleh informasi tentang Sashi. Namun, ini sebuah awal yang baik untuk memulai segalanya. Kepercayaan Sashi tak akan aku sia-siakan. Dia juga sudah bersedia ikut serta dalam piknik kelas kami.
            Akhirnya, hari yang kami tunggu datang juga. Menjelang malam, kami sampai. Acara pertama adalah api unggun. Kami bersama-sama menyiapkan kayu bakar. Semua anak ikut serta. Namun aku tak melihat Sashi.Dimana dia? Penasaran, aku menelusuri villa yang tak seberapa besar. Pandanganku tertumbuk pada seorang gadis yang sedang duduk di beranda atas. Ia duduk memandang langit yang bertabur bintang.
            "Aku juga suka bintang." ujarku sambil menghampirinya. Gadis itu berbalik. Dia Sashi. Aku melihat wajahnya sayu. Matanya sembab seperti habis menangis. Dia hanya terpana melihatku.
            "Irama? Kamu? Suka bintang?" ucapnya terbata-bata.
            "Ya, aku suka bintang. Biasanya, aku membuat puisi sambil melihat bintang. Oh ya, kenapa kamu menangis? Ada masalah?" Aku mencoba bertanya dan mengerti keadaannya. Namun, Ia tidak menjawab. Ia menutup wajahnya dengan kedua telapak tangan dan kembali menangis. Aku membiarkannya menangis. Hanya inilah yang akan membuatnya sedikit tenang. Aku mengambil secarik kertas dan mulai menulis. Sesekali aku menatap bintang yang bertaburan. Indah sekali. Entah mengapa, indahnya bintang tak dapat membuat suasana hati Sashi membaik. Tak berapa lama, tangisnya mereda. Aku menepuk punggungnya,
            "Sashi..ceritakan semuanya. Barangkali aku bisa bantu."
            "Irama, aku..aku..aku ingat ibuku." Tangisan Sashi makin keras. Aku mencoba menenangkannya.
            "Maksudmu?"
         "Irama, ada banyak yang belum kamu ketahui tentang aku. Aku ingin sekali cerita, karena aku tahu, kamu tidak seperti teman-teman lain yang menganggapku orang aneh."
            "Irama, tentu saja tidak.. Aku juga sudah berjanji padamu untuk selalu ada disampingmu bukan? Ayo, ceritakan semuanya. Mungkin, aku bisa membantumu."
            "Ra, dua tahun lalu, aku dan keluargaku mengalami kecelakaan. Ayah dan Ibuku meninggal dalam kecelakaan itu. Akhirnya, aku pindah ke kota ini, karena aku anak tunggal. Aku tak punya siapa-siapa lagi selain nenekku."
            "Karena itu kamu menangis?"
            "Bukan, Ra."
            "Lalu?" Aku masih saja keheranan.Sashi menarik nafas panjang sebelum melanjutkan ceritanya.
         "Ibuku bernama bintang. Aku dekat sekali dengannya karena ayahku selalu sibuk dengan pekerjaannya. Kami selalu melihat bintang bersama-sama. Menunjuk bintang yang kami anggap paling terang sinarnya. Tapi, karena kecelakaan itu, aku tak bisa lagi melakukannya. Bukan hanya karena ibuku telah tiada."
            "Lalu?"
            "Tapi juga karena aku tak bisa lagi menunjuk bintang"
        "Kenapa Sash? Kamu bisa melakukan hal itu bersamaku. Lalu, apa masalahnya?"  Aku terus saja keheranan mendengar cerita Sashi yang berbelit-belit. Tampaknya, masih ada yang Ia sembunyikan dariku.
            "Ra, kecelakaan itu tak hanya merenggut nyawa kedua orang tuaku, tapi juga kedua telunjukku. Kedua telunjukku hancur dalam kecelakaan itu dan tak ada yang bisa menggantikannya, Ra. Sejak itu, aku malu sekali. Terlebih, aku sedih, karena aku tak bisa melakukan kebiasaan yang biasanya aku lakukan bersama ibuku. Aku tak bisa mengenangnya lagi, Ra. Tak bisa..." Aku terpana. Sashi kembali menangis. Aku tak menyangka, ternyata ada rahasia besar yang disembunyikan Sashi selama ini. Aku merasa bersalah, karena baru sekarang aku mengetahui semuanya. Setelah selama ini Sashi larut dalam kesedihannya. Keputusasaan karena tak bisa mengenang ibunya yang semasa hidup sangat dekat dengannya. Aku merasa benar-benar merasa bersalah. Sejenak, kami diam dan menenangkan diri. Setelah akhirnya aku merangkul Sashi dengan erat. Kuberikan secarik kertas yang sudah penuh dengan tulisan tanganku. Sebuah puisi untuk Sashi.
            "Sash, bacalah.." Aku menyerahkan kertas itu dan Sashi membacanya dengan seksama.
Satu Bintang

Malam begitu pekat
semakin muram tanpa hadir sang bulan
awan hitam berderak menyusuri langit
angin berhembus mengikuti irama kesunyian

Satu bintang memecah suramnya malam
Kerlipnya kecil dan tak berharga
Namun satu hal yang kutahu
suatu yang besar berawal dari yang kecil
Satu bintang lebih baik daripada tak ada

Terimakasih bintangku, sudah terangi malam sepiku
Inginku hanya satu, tutup malamku dengan kerlip indahmu

Sashi tersenyum.Dia menatapku,
            "Bagus Ra..Bagus sekali.."
            "Sash..Tak ada yang perlu disesali dan disalahkan. Jangan pernah menyalahkan dirimu sendiri. Kamu tetap bisa mengenang ibumu. Ia akan tetap selalu ada dalam hatimu. Percaya padaku." Sashi menatapku tak percaya. Aku meraih  kedua tangannya dan benar saja, hanya ada delapan jari disitu. Delapan jari lentik tanpa sepasang telunjuk. Sesaat Sashi hendak menarik kembali tangannya, namun aku menahannya.
            "Pakai telunjukku untuk menunjuk bintang itu kapanpun kamu mau, Sash. Arahkan telunjukku dengan kedua tangannmu ke arah manapun kamu mau."
Sashi menatapku haru. Matanya berkaca-kaca. Begitu juga denganku. Ia mengangguk, dan tanpa sadar, aku melihat kedua mata yang bisanya selalu kosong itu berbinar gembira. Matanya tak lagi kosong, dingin, dan datar. Namun berbinar-binar dan begitu berapi-rapi. Sinar kehangatan muncul dari matanya. Sinar hangat yang selama ini aku dambakan. Ia juga tersenyum. Senyum manis yang baru kulihat selama ini. Ia menggenggam tanganku dan mengarahkan telunjukku ke satu bintang yang sinarnya paling terang. Aku menitikkan air mata. Aku senang sekali. Bukan hanya karena bisa menebus rasa bersalahku, tapi juga karena dapat mengembalikan senyum ceria Sashi dan menghilangkan kesedihannya.
            "Itu Ra! Itu! Itu bintang yang paling terang! Aku bisa menunjukknya lagi! Aku bisa!" Sashi begitu bersemangat. Sekali lagi aku menitikkan air mata. Semua terjadi seperti mimpi. Ternyata, kehidupan tak sesempurna yang aku bayangkan. Dibalik kehidupan seorang remaja yang penuh dengan keceriaan, warna, dan harapan, tersimpan keputusasaan yang begitu menekan. Selama ini, Sashi hidup dalam bayang-bayang kematian kedua orangtuanya terutama Ibu yang begitu dekat dengannya, keputusasaan dan rasa malu karena kehilangan dua jari telunjuknya, juga perasaan menyesal karena merasa tak bisa lagi mengenang Ibunya. Aku merasa begitu bodoh, karena baru menyadarinya. Selama ini hidupku begitu sempurna. Ayah dan Ibu yang selalu ada untukku, dan teman-teman yang mewarnai hari-hariku. Setelah ini aku berjanji, aku akan menjadi seorang sahabat sekaligus seorang saudara bagi Sashi. Aku harus mengubah pandangan buruk teman-teman selama ini. Aku berjanji.
            Sashi menatapku. Tetap dengan senyuman manis dan tatapan berbinar gembira. Aku merasa sudah menemukan sosok Sashi yang sesungguhnya.
            "Terimakasih, Irama..Terimakasih..." ucapnya tulus. Sekali lagi dengan senyum yang manis. Manis sekali.


Faranindya


makasih yang uda sempetin baca :)
*smooch*

Kamis, 25 November 2010

Monoton , Statis , atau apalah itu . judulnya BOSEN

Kamis, 25 November 2010

ohmyGoddragon . . . astaganaga
ini udah penghujung hari lagi
besok udah libur lagi
selalu bingung tiap kamis malam
bingung selama 3 hari ke depan bakal ngapain
bakal makan apa
bakal kemana
dan setelah diamati , ternyata jadwal kegiatan 3 hari selama setiap minggu itu selalu sama --'

Jumat

Bangun siang
Mandi
Cuci baju
Jemur baju
Sapu kamar
Online
Makan siang
Pergi keluar *kemana aja yang penting hepi
Pulang
Mandi
Pergi makan malem
Pulang
Online
Tidur

Sabtu

Bangun siang
Mandi
Sapu kamar
Online
Makan siang
Pergi keluar
Pulang
Mandi
Online
Pergi makan malem + malmingan
Pulang
Online
Tidur

Minggu

Bangun pagi
Mandi
Siap-siap
Ke gereja
Pulang
Makan siang
Kegiatan bebas (baca : ya pergi lah, ya tidur lah, ya online lah)
Mandi
Pergi makan malem
Pulang
Belajar ALPRO
Online
Tidur

--

The End

--

hidup yang sangat monoton
tapi walaupun begitu , bersyukur deh
karena masih dikasi hari sama yang di atas
masi dikasi nafas
dan masi dikasi senyuman setiap harinya

makasih buat  kaliaaaaaan


aku di kampus , Selasa 22 November 2010 . bareng sama sahabat baruku , Veronica :)


kalo yang ini, Yovena :)


makasih karena selalu ada setiaaaaaaaaaaaaaaap hari
mau itu hari Senin, Selasa, Rabu, Kamis, Jumat, Sabtu, Minggu, Tanggal merah, Libur dadakan
selalu sempet liat muka kalian atau salah satu dari kalian
hahaha
makasih karena paling enggak , aku gak ngerasa sendiri di hari-hariku yang sangat monoton ini

--

kembali ke atas (baca : topik)
yayaya
malem ini kembali bingung karena gatau apa yang akan terjadi dan diperbuat di  keesokan hari
selalu ga da rencana dan semuanya serba dadakan
OMG --'
dan yang paling aku takutkan, aku benci, dan yang sudah pasti mau gak mau harus aku lakukan adalah :
JENGJENG
Belajar Alpro . . . . . . . . . . . . . . .  *ucapkan dengan dramatis, indah, dan lebay
setiap minggu malam :(
mau gak mau harus mau deh
daripada menyesal di kemudian hari alias di hari senin karena ga bisa ngerjain

HOOOOAAAAAAAA
hari yang sangat aneh ><
berputar-putar di siklus yang sama
semoga weekend ku kali ini tidak suram

ameeeeeen Y_Y