Lagi-lagi dia, lagi-lagi lelaki itu. Parasnya biasa saja. Rambutnya cepak, berkacamata, tinggi sekitar 175 cm, dan berwajah teduh. Sudah tiga kali aku bertemu dengannya. Menemukannya diantara tumpukan boneka barbie di supermarket ini. Memilih-milih, dan terkadang tersenyum kecil. Aneh sekali. Aku hanya mengamatinya dari jauh, keheranan dan hanya terdiam. Tak sampai 10 menit, dia beranjak. Tangannya menggenggam boneka barbie keluaran terbaru. Ia berjalan santai menuju kasir tanpa ragu sedikitpun. Aku hanya bisa memandangnya dari jauh sampai satu suara menyapaku dengan berat,
“Permisi, mbak. .” Aku sontak terkejut. Aku menoleh dan tepat di belakangku, seorang petugas supermarket membawa kereta dorong berisi barbie. Rupanya aku menghalangi jalan.
“Eh. .iya mas . .” Masih tergagap-gagap aku menyingkir dari tempatku. Petugas itu tersenyum dan mendorong keretanya menuju rak tempat lelaki aneh tadi memilih barbie. Petugas itu tampak kesal. Tangannya memunguti kotak-kotak barbie yang tercecer di lantai. Aku menghampirinya,
“Kenapa, mas ?” Petugas itu menoleh. Aku menjajarinya. Ikut berjongkok di sebelahnya.
“Ini nih, mbak. Selalu saja begini. Berantakan dan bercecer di lantai. Sampai capek saya membereskannya. .” Aku tertegun. Pasti lelaki aneh tadi yang membuat kotak barbie ini berceceran.
“Ada apa, mbak ?” Petugas itu bertanya keheranan.
“Eh, nggak ada apa-apa mas. Cuma tadi saya liat ada orang yang mencecerkan kotak barbie ini. .” Ujarku ragu.
“Oh ya ? Laki-laki ya, mbak ? Kalau iya, berarti itu Mas Danang . .” Seketika raut wajah petugas itu berubah. Ia tertunduk lesu dan pucat. Aku semakin keheranan. Danang ? Siapa dia ?
“Danang ? Mas kenal dia ?” Petugas itu menoleh. Matanya sayu dan sedikit berkaca-kaca.
“Iya, mbak. Dia Mas Danang. Saya mengenalnya. Permisi dulu mbak, saya harus melanjutkan pekerjaan.” Aku belum sempat berkata apapun dan petugas itu pergi meninggalkanku. Aku semakin bingung. Tiba-tiba terdengar suara petugas dai pengeras suara. Mengucapkan terimakasih atas kehadiran pengunjung hari ini dan itu berarti supermarket ini akan segera tutup. Aku menghela nafas dan berjalan pergi. Dalam pikiranku berkecamuk banyak hal. Barbie, petugas itu, dan lelaki aneh itu. Danang . .
***
Seminggu sudah sejak kejadian itu. Aku kembali ke toko yang sama dan pada jam yang sama. Jam setengah 9 malam di lantai dua. Aku melangkah gontai menuju deretan rak boneka. Langkahku terhenti melihat sosok itu. Danang. Berjongkok di depan rak barbie, dan lagi-lagi mencecerkannya. Memilih, dan tersenyum sendiri. Jantungku berdegup 2 kali lebih cepat. Aku menyadari sesuatu yang aneh. Setelah ku runtut kejadian selama sebulan ini, pada hari pertama di awal minggu lah aku selalu bertemu dengannya. Lagi-lagi pada jam, tempat, dan keadaan yang sama. Kuedarkan pandanganku mennyusuri sudut supermarket. Kucari petugas itu. Namun tak juga ku temukan. Sampai akhirnya Danang berdiri dan menuju kasir. Lagi-lagi menggenggam barbie dan berjalan dengan pandangan kosong. Seolah mengerti sesuatu, petugas kasir itu tak menanggapi tingkah aneh Danang. Ia hanya memandang dengan tatapan menyelidik, tak banyak bertanya, dan segera membereskan barang belian Danang. Tak menunggu lama, diraihnya kantong plastik itu dan berjalan cepat. Aku benar-benar penasaran. Ku tunggu di tempat itu, 1 menit, 2 menit, 5 menit, dan akhirnya suara berat itu kembali menyapaku.
“Eh, si mbak yang waktu itu ya ?” Aku menoleh penuh harap, dan benar saja. Lelaki yang ku tunggu akhirnya datang juga. Petugas itu. Petugas yang sedari tadi kucari.
“Mas . .” ujarku lega.
“Iya, mbak. Ada apa ?” tanyanya heran melihat wajah pucatku. Aku butuh beberapa detik untuk mengembalikan konsentrasiku yang sesaat hilang karena Danang.
“I. .itu mas . .Danang. .” Aku berkata terbata sambil menunjuk ceceran barbie di lantai. Petugas itu menghela nafas dan menghampiri tumpukan barbie yang tercecer. Aku mengikutinya.
“Mas Danang. .Sampai kapan mau begini ?” Tatapan petugas itu begitu lesu dan sayu. Tangannya membereskan barbie yang bercecer dengan sabar.
“Danang kenapa, Mas ?” Petugas itu terdiam. Beberapa detik kemudian Ia balas menatapku.
“Kasihan dia, mbak. Saya. . Saya. .Ah, permisi mbak.” Petugas itu tak melanjutkan perkataannya. Ia beranjak pergi dengan cepat. Aku berlari mengejarnya.
“Mas ! Mas tunggu !” Aku berlari sambil berteriak. Tapi sayang, pintu lift itu telah tertutup membawa petugas itu di dalamnya. Aku terdiam mengatur nafasku yang tersengal. Ada apa sebenarnya ? Aku benar-benar ingin tau. Namun waktu rupanya tak berpihak padaku. Lagi-lagi pengeras suara itu mengingatkanku untuk segera pulang karena supermarket akan segera tutup. Aku melangkah gontai sambil terus terdiam. Aku tak tahan lagi. Secepatnya akan ku ungkap semua keanehan ini. Barbie, petugas itu, dan lelaki aneh itu. Danang . .
***
Tak perlu menunggu Senin tiba, keesokan harinya aku datang lebih cepat ke supermarket yang sama. Ku tunggu dari tempat yang tertutup supaya petugas itu tak menyadari kehadiranku dan justru kabur seperti kemarin. Aku mengambil posisi yang strategis. Rak buku-buku ini sepertinya cukup aman dan nyaman untuk melihat ke sekeliling. Termasuk ke arah rak barbie itu. Tak menunggu lama, petugas itu terlihat dari kejauhan. Ku amati perlahan, tak ada yang aneh dari dirinya. Tetap ceria menyapa rekan sekerjanya, dan tak ada yang istimewa. Perawakannya sedang, namun matanya, menyimpan rahasia besar yang tak terungkapkan. Ku amati terus sampai akhirnya yakin untuk menghampirinya.
“Mas. .” Aku menyapanya perlahan. Seperti dugaanku, petugas itu terkejut dan bersiap untuk lari. Namun tanganku mencegahnya. Ku tarik tangannya dan sekuat tenaga mencegahnya berlari.
“Tolong jangan lari, mas. Aku nggak akan macam-macam. Aku hanya ingin tau. Tentang barbie itu, dan tentang Danang. Ada apa ini, mas ?” Ujarku sedikit memohon. Persoalan ini memang sepele. Bahkan aku tak mengenal siapa Danang. Namun peristiwa ini sulit membuatku tidur nyenyak selama sebulan. Apalagi setelah pertemuanku dengan petugas ini. Akhirnya dia menyerah. Gerakannya melemah. Dia mengikuti kemauanku. Tatapannya berubah sayu.
“Jadi ada apa ?” tanyaku perlahan. Aku tak ingin membuatnya tertekan. Kelihatannya suasana ini sudah cukup membuatnya takut.
“Saya. .S. .Saya. .” Petugas itu berkata terbata-bata. Aku semakin tak sabar.
“Eh. .Temui saya diloteng supermarket jam 3 sore ya, mbak. Sekarang saya harus bekerja. Permisi.” Petugas itu berkata singkat dan beranjak pergi. Aku tak sempat mencegahnya. Jam 3 sore di loteng supermarket. Astaga, ini benar-benar membuatku penasaran. Tak adakah tempat yang lebih aneh selain loteng supermarket ? Kulihat arloji perakku, jarumnya masih menunjuk angka 1. Aku menghela nafas dan berjalan menuju cafe di sudut supermarket ini. Kuhabiskan waktu menunggu jam 3 tiba. Sampai akhirnya waktu itu pun tiba. Aku melangkah menuju lift dan menekan tombol 3. Liftnya terbuka dan ku lihat petugas itu terduduk di sudut loteng. Aku menghampirinya.
“Jadi ada apa, Mas ?” Aku berdiri radius setengah meter darinya. Loteng ini begitu sempit. Terlalu bahaya untuk berjalan semakin jauh. Ku lihat lantai dan besi pinggirannya sudah rapuh. Namun petugas itu tetap santai terduduk di sudutnya. Ku lihat besinya sudah hilang. Hanya ada jarak beberapa centimeter menuju dasar. Sungguh menyeramkan, pikirku.
“Mbak ingin tau apa ?” pandangan petugas itu kosong. Menatap besi-besi penyangga itu dengan sayu.
“Mbak ingin tau apa ?” pandangan petugas itu kosong. Menatap besi-besi penyangga itu dengan sayu.
“Danang. .dan barbie. .” Aku mendesis pelan. Semakin kurasakan keanehannya. Petugas itu menatapku, dan menghela nafas sebelum akhirnya berkata-kata.
“2 bulan lalu, kejadian menakutkan itu terjadi. .” Ucapannya terhenti. Petugas itu merubah posisi duduknya dan kini berhadapan denganku. Ia menarik nafas dan melanjutkan perkataannya.
“Saya ingat betul, hari itu hari Senin. Tak lama lagi toko akan tutup. Namun Mas Danang dan adiknya masih saja berjongkok dan memilih-milih barbie. Saya masih ingat betul mereka berdua ada disana. .”
“Lalu ?” Tanyaku lagi
“Saat itu, saya sudah mulai mengunci beberapa pintu supermarket. Termasuk pintu loteng ini, mbak. Saya yakin betul, pintu ini sudah terkunci dengan baik.” Petugas itu semakin tertunduk. Matanya mulai berkaca-kaca.
“Lalu ?” Tanyaku dengan pertanyaan yang sama.
“Sampai akhirnya, saya terkejut melihat orang berlarian keluar supermarket sambil berteriak. Saya juga ikut berlari, mbak. Dan ternyata. . .”
“Apa ?”
“Pemandangan di luar supermarket begitu mengerikan. Seorang anak tewas terjatuh dari loteng supermarket, dan dia. .Dia adik Mas Danang, mbak.” Petugas itu tak sanggup lagi membendung air matanya. Aku terkesiap tak bisa berkata apa-apa. Ku rasakan kengerian luar biasa. Namun rasa penasaran itu masih melekat di otakku.
“Tapi bagaimana bisa ? Bagaimana bisa anak sekecil itu naik ke atas loteng ? Dimana Danang ?’
“Mas Danang hanya bisa diam melihat semuanya, mbak. Boneka barbie terbaru itu masih digenggamnya. Pandangannya kosong melihat jasad adiknya. .”
“Maksudnya ?” Aku benar-benar tak memahami maksud omongan petugas ini. Begitu berbelit-belit dan sulit dipahami.
“Tanyakan pada Mas Danang, mbak. Ini alamatnya. Semakin ditanya, saya akan merasa bersalah. Walaupun saya terbukti tak bersalah dan kasus ini dianggap kecelakaan. .” Petugas itu menyerahkan secarik kertas dan beranjak pergi meninggalkanku. Aku mengikutinya sambil sedikit ketakutan. Namun petugas itu tak berkata apapun. Aku memutuskan mencari dia. Ya, Danang.
***
Masih jam 4 sore saat langkahku terhenti di depan sebuah rumah berpagar putih. Gerbangnya tak terkunci, jadi kuputuskan untuk masuk. Aku mengetuk pintunya dengan sopan dan menunggu dibukakan. Tak lama kemudian sosok itu muncul. Danang.
“Selamat sore. .” ujarku menyapanya. Dia menatapku keheranan
“Ya, selamat sore. Cari siapa ?” balasnya dingin.
“Kamu. Kamu Danang kan ?” dia semakin menatapku heran.
“Ya. Ada perlu apa ?”
“Boleh saya masuk ? Biar nanti kujelaskan.” Aku berusaha meyakinkannya. Beruntung Danang mengangguk. Aku tersenyum kecil dan memasuki ruang tamu itu. Tak terlalu besar. Namun pemandangan yang ku lihat begitu aneh. Ruang tamu yang lengkap dengan barbie dan peralatannya. Tampak sebuah miniatur rumah barbie dengan papan nama di depannya. “Marini” .
“Ada apa ?” Danang menyapaku dengan ketus. Aku berbalik dan menatapnya.
“Maaf kalau lancang, Danang. Aku hanya ingin bertanya tentang sesuatu yang sangat mengganjal pikiranku.” Aku berkata perlahan
“Silahkan duduk.”
“Ya, terimakasih.” Aku membalas ucapannya dengan senyuman. Dia menatapku menyelidik.
“Tanya apa ?”
“Ehm. .Sebenarnya, sudah 3 kali aku tak sengaja bertemu denganmu di supermarket depan gang itu. Maaf kalau aku lancang mengamatimu, Danang. .”
“Maksudmu ?” Aku menghela nafas sebelum melanjutkan perkataanku.
“Iya, aku mengamatimu, dan barbie itu. .” Danang terkesiap. Pandangannya berubah sayu. Dia tak sedikitpun menatapku.
“Pasti kau menganggapku aneh ya. .” Ujarnya masih tetap menunduk
“Sebenarnya ada apa, Danang ? Aku boleh tau ?” ujarku pelan
“Ada yang sudah kamu ketaui ?” balasnya sambil menatapku tajam. Aku terkejut. Tak menyangka reaksinya akan seperti ini.
“Petugas itu, Dan . .” Aku tak bisa menatapnya. Jujur aku takut.
“Lukas. .” desis Danang penuh kebencian.
“Lukas ?” tanyaku perlahan
“Pembunuh !” Danang berteriak. Dia sontak berdiri dan menghancurkan sekelilingnya. Deretan barbie yang tertata rapi jadi berhamburan. Aku terkesiap dan hanya bisa terdiam. Danang menangis meraung-raung di sudut jendela. Tangisnya pecah tak tertahankan. Aku kaget luar biasa. Ku biarkan Danang menangis sampai dia tenang. Aku sendiri hanya bisa terdiam. Setengah jam berdiam diri, akhirnya tangisnya mereda. Danang memandangku,
“Siapa namamu ?” Aku terkejut luar biasa.
“Namaku. . Nina.” Aku balas menatapnya. Danang kacau luar biasa. Sisa-sisa air mata masih di pelupuk matanya.
“Ada apa sebenarnya, Dan. .”
“Nina, ikut aku ya.” Danang tak memberiku waktu lama untuk berpikir. Tangannya meraihku dan mengajakku pergi. Tak lama kemudian sedan hitam itu melaju cepat. Nafasku tertahan. Aku pergi bersama orang yang tak ku kenal !
Sedan itu berhenti di pelataran pemakaman umum. Danang keluar dan berjalan memasuki pemakaman itu. Aku mengikutinya dari belakang. Hingga akhirnya langkahnya terhenti di depan sebuah nisan bertuliskan “Marini Adonia” . Danang berlutut di hadapan nisan itu. Aku hanya bisa diam dan mengikutinya.
“Kamu lihat sendiri, ini hasil perbuatan pembunuh itu.” Danang berkata dingin. Aku menatapnya tak mengerti. Danang menghela nafas.
“2 bulan lalu, Nin. .di supermarket itu. Marini merengek memintaku membelikannya barbie lagi. Untuk yang kesekian kalinya dan kali itu aku menolak.” Danang menarik nafas panjang.
“Kenapa, Dan ?”
“Entah, dan sampai sekarang aku menyesal. Amat sangat menyesal karena penolakanku berbuah pahit. Penolakanku berbayar nyawa Marini. .” Danang mulai menangis. Aku tak tahan lagi. Ku rengkuh pundaknya.
“Tenanglah, Dan. Itu semua sudah takdir. Lagipula semua itu karena kecelakaan kan. .” Ujarku bermaksud menenangkan. Namun Danang melepaskan rengkuhanku. Dia menatapku tajam.
“Kecelakaan ?” Desisnya. Nafasku tertahan.
“Lukas bilang. .”
“Persetan ! Kalau benar Lukas sudah mengunci pintu darurat itu, Marini tidak akan bisa memasukinya. Lalu lari sampai akhirnya tiang penyangga itu rubuh ke bawah dan Marini terjun bebas. Tidak akan !!!!” Danang menghardikku. Aku tersentak dan hanya bisa diam. Rupanya Danang menyadari kesalahannya. Dia menatapku.
“Maaf, Nina. Ini semua memang salahku. Seharusnya waktu itu kubelikan saja Marini sebuah barbie. Tentu dia tak akan marah padaku dan lari meninggalkanku, sampai akhirnya kejadian naas itu terjadi. .” Danang terduduk lemas di hadapanku.
“Dan. .Sudahlah. .Semua sudah terjadi. Marini sudah tenang disana. Tak ada yang perlu disesali, karena itu tak akan merubah sesuatu. Jangan lagi mengenang Marini dengan cara yang bodoh. Tak perlu rasanya datang ke supermarket pada hari yang sama, pada waktu yang sama, dan mencecerkan barbie itu sebelum membelinya. Kau pikir Marini senang ? Tidak, Dan.” Aku berkata sambil tetap menunduk. Aku tak punya kekuatan untuk menatap Danang. Dia tetap menatapku. Dalam, dan tajam.
“Aku belum bisa terima semua ini, Nin. Tak akan pernah bisa. .”
“Aku tau, tapi harus bisa, Dan. Marini akan sedih melihatmu hidup dalam dendam dan keputus-asaan. Sampai kapan ?” Aku berusaha menyadarkannya, namun Danang tak bergeming. Sampai akhirnya suara berat yang begitu ku kenal menyapa halus.
“Mas Danang. .” Kami menoleh. Ternyata benar, sangat ku kenal suaranya. Lukas. Danang menatapnya penuh kebencian. Sebaliknya, Lukas menatap nisan Marini dengan sayu.
“Mau apa kau pembunuh ?” Desis Danang dengan geram.
“Saya bukan pembunuh, Mas. .”
“Dan. .” aku berusaha meredam emosi Danang.
“Maafkan saya, Mas Danang. Tapi semua bukti menyatakan saya tak bersalah. Ini murni lepas dari kesalahan saya, Mas. Tolong maafkan saya. .” Danang mulai menangis. Sepertinya kali ini dia luluh.
“Saya bawakan ini untuk Marini, Mas. “ Lukas menyodorkan satu kotak barbie. Namun tangan Danang tetap diam tak menyambutnya.
“Danang. .Ayolah. .” Aku berusaha membujuknya. Danang menatapku, kemudian tangannya meraih kotak barbie dari tangan Lukas. Lukas tersenyum lega. Begitu juga denganku.
“Aku sayang Marini. .” Danang menatap nisan itu dengan sayu. Pandangannya menyiratkan duka yang sangat dalam.
“Saya turut menyesal atas kejadian itu, Mas Danang. .” Lukas merengkuh punggung Danang seolah turut merasakan duka yang sama. Akhir yang indah menurutku, karena setelah ini, Marini pasti akan tersenyum bahagia disana melihat Danang yang meninggalkan kebiasaan anehnya.
Seminggu setelah peristiwa itu, di hari Senin seperti biasanya aku menilik supermarket itu. Jam setengah 9 malam di lantai 2. Ku amati perlahan dan seksama, sampai akhirnya aku menarik nafas lega. Tak ada lagi Danang disana. Tak ada lagi lelaki aneh yang mengamati barbie sambil tersenyum. Tak ada lagi lelaki aneh yang mencecerkan barbie-barbie itu sampai akhirnya memilih satu di antaranya.
Selamat tinggal barbie boy, mission completed.
*simple handwriting
by : faranindya
0 komentar:
Posting Komentar