Selamat pagi dunia .. Rasanya semua hari sama saja bagiku. Matahari tetap terbit, awan tetap memayungi, dan angin tetap berhembus. Aku berjalan riang menuju kampus yang jaraknya hanya 0,6 km dari kost ku. Namaku Agistia. Usiaku belum genap 18 tahun dan aku punya prinsip kebanggaan. Walaupun banyak orang menganggap konyol prinsipku ini, tapi aku tak peduli. Aku tetaplah aku. Agistia Sarasandi, mahasiswi semester satu di fakultas kedokteran di salah satu universitas swasta di kota pelajar ini. Hidupku monoton setiap harinya. Tak ada yang istimewa untuk diceritakan, keculai cerita tentang aku, dan sahabat terbaikku.
“Agis !” suara yang cempreng dan khas itu menyapa telingaku. Lamunanku buyar. Aku menoleh, dan ternyata aku memang mengenalnya. Dia Varas, sahabat senasib sepenanggunganku.
“Girang amat ? Ada apaan ras ?” tanyaku heran. Baru pagi ini aku melihat dia riang dan bersemangat. Biasanya, pagi harinya selalu penuh dengan masalah sarapan, jerawat, diet, dan tentu saja pacar.
“Girang amat ? Ada apaan ras ?” tanyaku heran. Baru pagi ini aku melihat dia riang dan bersemangat. Biasanya, pagi harinya selalu penuh dengan masalah sarapan, jerawat, diet, dan tentu saja pacar.
“Hehe, tebak dong !” balasnya dengan senyum mengembang. Aku menarik nafas tak sabar. Rasanya ingin ku cubit pipi gembulnya itu dan ku tarik bibir manyunnya.
“Ah kelamaan.” Aku berjalan lagi dan meninggalkan Varas. Dia hanya menggeleng kesal, mengejarku, dan memanggil-manggil namaku. Aku tak peduli, terus saja aku melangkah memasuki gedung kampus. Mencari bangku yang kosong dan duduk sambil tertawa terbahak-bahak melihat raut wajah Varas yang kelelahan karena mengikuti langkah cepatku. Aku tersenyum jahil dan kuisyaratkan akan mendengarkan ceritanya sepulang kuliah nanti. Dia hanya mengangguk mengiyakan.
Sepulang kuliah, ku tepati janjiku untuk mendengarkan cerita Varas. Sambil duduk di bangku kantin, aku melahap dua tangkup roti bakar ,
“Ada apa, nona ribet sedunia ? Ada cerita apa ?” tanyaku sambil terus mengunyah.
“Akuuuuuuuuuu....... aku dapet kalung dari Riski !” ucapnya berapi-api. Senyum nya merekah dan tangannya memainkan bandul kalung yang tersemat di kalungnya. Ku amati sambil tersenyum. Bagus sekali, liontin perak berbentuk balerina.
“Bagus, ras. Kenapa nggak sekalian cincin aja ? Cincin tunangan ! Hahahaha.” Tawaku pecah. Varas berubah manyun. Tampaknya ia kesal karena responku tak seperti yang dia bayangkan.
“Ih, malah becanda. Serius nih Gis, seriuuuuus.”
“Ih, malah becanda. Serius nih Gis, seriuuuuus.”
“Serius apaan sih Ras ?” Hahahahaha.” Aku belum bisa menghentikan tawaku. Ini fakta tentangku, aku memang sulit untuk berhenti tertawa dan jujur aku merasa kerepotan.
“Ih, berhentiin dulu kenapa sih ketawanya ? Ini tuh serius, Agis. Kapan kamu punya pacar ?” glek. Ucapan itu ampuh menghentikan tawaku. Aku menatapnya keheranan.
“Apa hubungannya sama aku, Ras ?”
“Yaaaaa ada lah Gis. Ayo, buruan cari pacar makannya. Jadi bisa dapet hadih lucu kayak gini nih. Jangan Cuma bisanya ngeledekin aku doang.” Ujarnya lagi. Aku menatapnya sambil tersenyum kecil. Memang sih, di usiaku yang sudah lewat 17 tahun ini, belum pernah sekalipun aku memiliki pacar. Eits tunggu dulu, aku normal lho. Hanya saja selektif. Aku Cuma ingin yang terbaik kok, dan saat ini adalah prosesku untuk mencapai tujuanku itu.
“Hellooooooooo ?” Varas melambaikan tangannya di depan wajahku. Menyadarkanku dari lamunan bodohku.
“Hahahaha, iya Ras. Aku denger kok.”
“Terus ?” Tanyanya bingung
“Ya, nggak ada terusannya. Ah udahlah, ayo pulang .” Ucapku sambil menarik tangannya. Varas hanya mendengus kesal. Ya, dia adalah sahabatku yang paling menentang prinsipku ini. Aku selalu mengingat kata-katanya yang selalu sama untukku. Intinya, aku tak sejelek itu untuk terus menyandang status single, jomblo, or whateverlah. Intinya dia sibuk mendorongku untuk satu tujuan, yaitu mencari pacar. Titik.
Hari berakhir dan berganti pagi lagi. Aku menarik selimutku untuk kembali memejamkan mata. Rasanya malas sekali. Hari ini hari sabtu, dan kampus libur. Senangnya, akhirnya bisa bersantai sejenak dari rutinitas yang membosankan. Ku ambil telepon genggamku dan tertulis “1 Pesan diterima”. Ku buka dan lagi-lagi satu nama, Varas. Aku tersenyum kecut. Kotak masuk pesanku cuma terdiri dari 4 nama dan selalu sama. Papa, mama, Varas, dan satu yang terakhir adalah operator. Memang selalu begini dan selalu begitu selama hidupku. Varas adalah sahabatku sejak aku SMA dan sekarang kami bertemu lagi di perguruan tinggi yang sama. Aku menghela nafas dan membaca pesan masuk darinya itu, “Cepetan mandi, temenin ke toko buku ya. PS : Gak pake lama mandinya.”
Aku membalas cepat dan mengiyakan. Aku bergegas mandi dan bersiap-siap.
Aku membalas cepat dan mengiyakan. Aku bergegas mandi dan bersiap-siap.
Aku berlari kecil menuju gerbang. Mobil berwarna putih itu sudah menunggu di depan. Kaca kemudinya terbuka. Kepala Varas menyembul dari sana. Kacamata hitam bertengger di atas kepalanya. Aku tersenyum kecil. Sahabatku ini memang sempurna. Cantik, pintar, dan mempesona. Berbeda jauh denganku yang selalu cuek dengan penampilanku. Pantas saja. Mungkin lelaki di luar sana menganggapku aneh sehingga tak berniat sedikitpun untuk mendekatiku.
“Hello gendut. Rajin banget pagi-pagi ke toko buku ?” Ucapku iseng sambil memasang sabuk pengaman. Varas memonyongkan bibirnya mendengar ucapanku.
“Emang aku gendut ya, Gis ? Beratku emang nambah beberapa pon sih.” Balasnya sambil menatap tubuhnya sendiri.
“Hahaha, enggak kok Ras. Becanda” ucapku sambil tertawa keras. Varas memang sangat serius menjaga berat badannya. Maklum, dengan aktifitasnya sebagai model foto, dia memang harus ketat menjaga berat badannya.
Mobil Varas menepi di pelataran toko buku. Kami berdua pun memasuki toko dan berpisah. Ya, selera bacaan kami memang berbeda. Varas selalu melihat majalah fashion dan makeup, sedangkan aku, selalu menilik buku novel dan musik. Tatapanku terhenti melihat sebuah novel berjudul Julia Quinn. Tinggal satu pula. Baru saja tanganku hendak meraihnya, tangan seseorang bersamaan mengambilnya juga. Aku menatap orang itu kesal. Ternyata seorang lelaki. Tatapannya sombong, dingin, dan tak bersahabat.
“Aku duluan nih, mas.” Ucapku kesal. Lelaki itu menatapku dingin. Tangannya tetap saja mencengkeram buku yang juga ku pegang itu.
“Aku duluan.” Ucapnya tak mau kalah. Aku kesal sekali. Aku tak yakin lelaki berpotongan seperti dia suka membaca novel drama seperti ini. Aneh.
“Aku duluan. Buruan lepasin bukunya mas, aku mau bayar.” Hardikku kesal. Tapi tangannya tak kunjung melepas novel itu. Aku mendengus kesal. Aku benar-benar ingin membeli novel itu. Aku sudah membaca resensinya di internet dan aku merasa terkesan dengan jalan ceritanya.
“Aku juga ingin membacanya. Kita beli bersama saja.” Ujarnya dingin. Aku mendengus kesal campur heran. Membelinya bersama ? Apa jadinya ? Membacanya bersama juga ? Dia pikir novel ini koran yang bisa dibaca satu berdua ?
“Tapi . .” Ucapanku terputus. Lelaki itu menarik buku yang kupegang bersama tanganku menuju kasir. Aku terseok-seok mengikuti langkahnya. Semua orang menatap kami heran dan aneh. Bagaimana tidak, kami memang terlihat seperti orang gila yang memperebutkan sebuah buku, bahkan membawanya ke kasir bersama-sama.
“Beli yang ini, mbak.” Ucap lelaki itu dingin. Petugas kasir itu menatap kami keheranan. Bagaimana tidak, salah satu dari kami tak ada yang mau mengalah untuk melepaskan buku itu.
“Maaf, saya cek dulu ya barcodenya.” Ujar petugas itu sopan. Aku menatap lelaki aneh itu, dan dia balas menatapku. Kami melepas buku itu bersamaan dan mendengus kesal.
“Agis, kemana aja sih ? Aku muter-muter cari kamu daritadi.” Varas menepuk pundakku dan menatapku heran.
“Ini nih, Ras. Abis rebutan buku sama cowok aneh !” Ujarku sambil menunjuk lelaki di sampingku itu. Varas keheranan. Dahinya mengerut. Ia menatap lelaki itu dan menahan tawa.
“Buku apaan sih ?”
“Ini, novel drama. Aneh banget kan ?” ucapku kesal. Tawa Varas pecah. Dia terawa terbahak-bahak.
“Ampun deh, ada cowok suka novel drama. Udahlah, Gis. Kita cari di tempat lain aja ya ?”
“Nggak mau ! Aku duluan kok yang pegang bukunya.” Ucapku sengit. Lelaki itu menatapku tajam dan berkata datar,
“Buruan bayar separuhnya.” Aku menatapnya terbelalak. Separuhnya ? Maksudnya ?? Astaga, aku benar-benar kesal. Ku ambil pecahan 20.000 dan 5.000 an. Ku berikan kepada petugas kasir yang juga menahan tawa. Lelaki itu sama sekali tak tersenyum. Tanganya dengan kasar mengambil plastik berisi novel itu dan berjalan keluar toko. Aku mengejarnya sambil berteriak,
“Eh !” Dia berbalik tepat di hadapanku yang sedang berlari mengejarnya, dan bug ! aku menabrak dadanya.
“Apa ?” Tanyanya tak sabar. Aku mendengus kesal dan malu sekali.
“Aku juga mau baca.” Dia menatapku datar dan memberiku secarik kertas kecil. “085642775645”. Aku menatapnya heran.
“Apa ini ?”
“Nomer teleponku. Hubungi aku 3 hari lagi, nanti ku berikan novel ini padamu.” Dia berbalik dan berjalan keluar toko. Aku berdiri kebingungan dan menatap kertas di tanganku. Benar-benar cowok aneh. Varas menghampiriku khawatir.
“Ada apaan sih, Gis ?”
“Nih. “ aku menyerahkan kertas itu pada Varas. Dia menatapku keheranan.
“Nomer telepon ? Buat apa, Gis ?”
“Cowok aneh itu bilang, aku harus menghubunginya 3 hari lagi, baru dia akan menyerahkan buku itu buat aku. Aneh kan ?” Varas menatapku aneh. Dia menggaruk rambutnya pelan, dan satu kata yang dia ucapkan,
“Sabar ya, Gis..” Aku hanya mengedikkan bahuku dan berjalan keluar toko.
Hari hampir sore ketika aku sampai kembali. Kertas pemberian lelaki aneh itu masih ku genggam. Betul-betul hari yang aneh dan buruk. Aku menarik nafas panjang. Ini yang membuatku berpikir dua kali soal memilih lelaki. Kadang-kadang lelaki itu egois, semaunya sendiri, dan mengandalkan kekuatan fisik. Jarum itu semakin sulit dicari diantara jerami. Bagaimana mungkin menemukan sosok lelaki sempurna seperti yang ada di bayanganku ya. Mencari lelakiyang sama seperti ayah. Dewasa, rendah hati, dan penuh kasih sayang. Selama ini semua lelaki yang ku temui selalu sama saja. Terlebih musuhku waktu aku duduk di bangku SMP dulu. Aku ingat benar kejadian waktu itu. Namanya Aldorio. Tingkahnya bengal dan urakan. Selalu saja mengandalkan kekuatan fisiknya. Apapun maunya, harus selalu tersedia. Aku sangat membencinya, sampai kuputuskan pindah ke kota lain untuk menghindarinya. Terlebih setelah kejadian memalukan sepanjang masa itu. Setelah sekaleng cat tumpah di atas kepalaku karena kelakuannya, dan setelah aku tak bisa mengikuti ulangan matematika akhir semester karena harus pulang ke rumah membersihkan cat yang melekat pada tubuhku. Semenjak itu, cukup sudah. Pergilah kau, wahai semua lelaki dari hidupku. Kecuali ayahku tentunya. Sejak saat itulah aku tak begitu berharap bertemu lelaki, selain lelaki yang benar-benar tulus dan baik, yang sama seperti ayah. Satu yang kuingat dari Aldo, aku pernah membuat punggung tangan kanannya terluka karena kugores dengan cutter. Seingatku lukanya dalam, walaupun itu tak sebanding dengan apa yang telah dia perbuat kepadaku.
Tiga hari berlalu. Kupandangi lagi kertas pemberian lelaki itu. Ku ambil telepon genggamku dan kupencet tombolnya. 0,8,5,6,4,2,7,7,5,6,4,5, ujarku sambil menekan tombol angka. Terdengar nada sambung sebelum akhirnya suara dingin menjawab dari seberang sana.
“Halo.”
“Halo . .” balasku pelan.
“Siapa ini ?”
“Aku, mm, aku perempuan yang di toko buku itu. Aku, mm, mau ambil novelnya.” Ucapku terputus-putus. Aku canggung sekali. Belum pernah rasanya menelepon seorang lelaki.
“Oh, kamu. Dimana alamatmu ? Biar aku antar.” Balasnya lagi.
“Oh, alamatku. Mmm . .”
“Ck, cepatlah. Sebelum aku berubah pikiran.” Ujarnya tak sabar.
“Em, jalan Merak nomor 3. Kamu yakin mau kesini ?” tanyaku pelan.
“Ya, tunggu aku setengah jam lagi.” Tut. Telepon terputus. Aku menarik nafas dan kebingungan. Apa ya yang harus aku lakukan. Padahal dia sangat menyebalkan, tapi kenapa aku bisa segugup ini.
Tak sampai setengah jam, telepon genggamku berbunyi. Kulihat, ternyata nomor lelaki itu.
“Halo ?”
“Aku ada di depan.” Tut. Telepon itu mati lagi. Aku berlari kecil menuju pintu, dan benar saja. Disana ada lelaki aneh itu. Membelakangi pintu dan kakinya tak bisa diam mengetukkan tapak sepatunya ke lantai.
“Hai.” Aku menyapanya ragu. Dia membalikkan badannya dan menatapku dingin.
“Kamu . .”
“Iya . .” jawabku bingung. Dia melongok melihat ke dalam ruang tamu. Dia mengedarkan pandangannya ke sekeliling tempatnya berdiri.
“Masuk dulu . .” ujarku canggung. Lelaki itu mengikutiku masuk dan duduk di ruang tamu yang tak terlalu besar itu. Dia masih saja mengamati sekeliling ruangan sambil menatapnya dingin.
“Maaf ya, berantakan.” Ujarku lagi. Lelaki itu menatapku dan mengedikkan bahunya tanda itu semua tak masalah. Dia mengeluarkan novel itu dari dalam tasnya. Menatapnya sebentar, dan menyodorkannya padaku.
“Maaf ya, berantakan.” Ujarku lagi. Lelaki itu menatapku dan mengedikkan bahunya tanda itu semua tak masalah. Dia mengeluarkan novel itu dari dalam tasnya. Menatapnya sebentar, dan menyodorkannya padaku.
“Ini . .” Aku tersenyum senang, akhirnya aku bisa membaca novel terbaru itu. Baru saja hendak meraihnya, pandanganku tertumbuk pada sesuatu yang tak asing bagiku. Sebuah tanda yang sangat ku kenal. Aku terdiam beberapa saat. Ku tatap lelaki itu dengan teliti. Coba membandingkan dan mengingat-ingat sesuatu yang sudah lama sekali hilang. Lelaki itu menatapku aneh.
“Ada apa ?” tanyanya heran dan curiga. Aku gugup dan mencoba sadar kembali.
“Eh, itu . .Mm. .” ujarku gugup. Dia makin curiga.
“Ada apa sih ???” Tanya nya tak sabar
“Eh, itu. Emm, bekas luka di punggung tangan kananmu itu ?” Dia terkejut dan menatap punggung tangan kanannya. Bekas goresan dalam yang terlihat timbul itu terlihat dengan jelas. Aku tersentak. Sepertinya aku mengingat sesuatu. Eh, seseorang.
“Bukan apa-apa. Cuma masa lalu.” Ujarnya dingin dan membuang pandangannya
“Masa lalu ?” tanyaku pelan
“Iya, ini semua karena dia.”
“Dia ?” tanyaku tambah heran
“Iya dia . .” ucapnya sambil berdiri dan berjalan ke dekat jendela besar di sisi ruang tamu.
“Dia, cinta pertamaku. Dulu, aku memang selalu mencari perhatiannya. Apapun itu. Tapi ternyata, dia justru membenciku. Satu kenangan yang tertinggal setelah dia pergi, ya hanya ini. Hanya bekas luka ini. Bekas luka goresan cutter karena kemarahannya padaku waktu itu.” Deg. Aku tersentak mendengar penuturannya. Apa ???? Cerita itu ???? Jadi ? Dia ? Aldorio ?????
“Kamu . . .” aku terduduk lemas. Dia menatapku keheranan.
“Ya ? Ada apa ?”
“Kamu . . . Jadi . . Kamu . . Aldorio ??” ucapku kaget. Lelaki itu tak kalah kagetnya denganku. Dia tersentak dan menatapku tajam. Dia memperhatikanku dari ujung rambut hingga ujung kaki. Pandangannya tak sedikitpun lepas dan terus lekat menyelidikiku.
“A . . Agistia ?” ucapnya terbata-bata. Aku mengangguk sambil terus menatapnya. Astaga ! Apa lagi ini ? Pertemuan tak sengaja dengan orang yang sangat ku benci setelah 5 tahun berlalu ? Aldorio ? Musuhku selama SMP ? Lelaki yang membuatku memandang buruk semua lelaki ? Dia ada di depanku sekarang ?? Aku terhenyak dan terduduk lemas. Sama denganku, dia terduduk di lantai sambil terkaget-kaget dan keheranan. Mungkin dia berpikiran sama denganku. Sama kagetnya denganku. Belum habis kagetku, aku kembali dikejutkan oleh suara yang sangatku kenal itu. Varas.
“Agiss !” teriaknya dari jauh. Varas keheranan melihat pemandangan di depannya. Aku yang terduduk pucat dan Aldorio di hadapanku yang sama-sama pucatnya.
“Kalian ? Ada apa ?” Varas bertanya keheranan. Aku menyuruhnya duduk sebelum akhirnya aku menceritakan pertemuan aneh ini. Aldo masih saja terkaget-kaget dan hanya bisa diam. Sementara Varas, sama kagetnya dan hanya bisa tertawa sambil menggelengkan kepalanya.
“Ckckckckck . . Kalian ini, dari dulu sampai sekarang. Pasti bertengkar. Kenapa bisa sih ??”
“Ckckckckck . . Kalian ini, dari dulu sampai sekarang. Pasti bertengkar. Kenapa bisa sih ??”
Aku cuma bisa tersenyum kecil. Kalau mengingat semua kejadian itu, rasanya Aldo yang sekarang ada di depanku ini ingin ku pukul dengan apapun untuk melampiaskan kemarahanku. Sayangnya tak bisa. Penampilannya benar-benar berubah dan terlihat dewasa, walaupun sifatnya yang menyebalkan dan tak mau kalah itu masih saja ada.
Berawal dari pertemuan itu, hidupku berubah perlahan. Kami berdua sering bertemu setelah hari itu. Sekedar minum kopi, atau bercerita tentang masa lalu yang sangat menyebalkan itu. Tawaku tak pernah henti membayangkan kekonyolan di masa lalu itu. Setelah hari itu, pandangan burukku tentang Aldo sedikit berubah. Ternyata waktu benar-benar merubahnya menjadi sosok dewasa. Walaupun masih tetap dingin dan cuek.
Kata maaf pun tak pernah henti kami berdua ucapkan. Untuk kekonyolan kaleng cat itu, bahkan untuk goresan di punggung tangan yang tak bisa hilang itu. Sampai pada suatu sore, aku merasakan sesuatu yang belum pernah kurasakan sebelumnya. Ya, perasaan aneh itu.
“Gis . .Boleh tanya ?” Tawa kecilku berhenti mendengar ucapan Aldo.
“Tanya apa, Do ?”
“Kenapa sih, kamu. . . masih sendiri ?” tanyanya ragu. Aku membalasnya dengan senyuman kecil. Prinsip itu. Prinsip yang ada sejak kebencianku terhadapnya. Prinsip yang selalu ku jaga selama 5 tahun terakhir ini. Prinsip jarum dalam jerami.
“Itu, bukan apa-apa, Do.” Balasku sambil tersenyum
“Yaaa, tapi kenapa ?” tanyanya masih saja penasaran. Aku menarik nafas panjang sebelum akhirnya memutuskan menjawab.
“Do. . Sesungguhnya setelah kejadian itu, kejadian kaleng cat itu, pola berpikirku tentang sosok seorang lelaki benar-benar berubah. Aku trauma, Do. Mungkin lebih tepatnya begitu. Aku merasa takut, kalau sifat lelaki yang egois dan sok kuat itu akan melukaiku lagi . .” Aku menarik nafas sejenak sebelum melanjutkan perkataanku.
“Buatku, lelaki yang benar-benar baik dan tulus itu seperti mencari sebuah jarum dalam tumpukan jerami, Do. Sulit.” Aku tersenyum dan menatapnya.
“Kalau kamu ?” Aldo balas menatapku dan juga tersenyum.
“Aku. . Berusaha menjaga perasaanku, Gis. .” ucapnya lagi
“Perasaan ?”
“Ya.”
“Untuk apa ?” tanyaku masih saja keheranan
“Untuk cinta pertama itu. .” Ucapnya. Pendek dan begitu menyentakku.
“Kamu, Gis. Kamu cinta pertamaku, dan kamu yang selama ini aku jaga di dalam sini. .” ujarnya sambil meletakkan tangan di dadanya. Aku menatapnya heran, kaget, dan bingung.
“Maksudmu ?”
“Maksudmu ?”
“Buang jauh semua prinsipmu ya, Gis. Karena sesungguhnya, jarum itu sudah kamu temukan. .” Aku menatapnya keheranan. Aldo menarik tanganku dalam genggamannya. Dia menatapku, dalam dan begitu serius.
“Aku yang membuat prinsip itu, dan aku juga yang akan mengakhirnya, Gis. I love you . .” Ucap Aldo yakin. Aku tersentak. Aku harap ini hanya lelucon. Ku tunggu bebeapa detik, dan tawa itu tak kunjung muncul. Apa ini serius ?
“Gis ?” tanyanya lagi.
“Eh ?” ucapku masih dengan kagetku itu.
“Would you be mine ?” tanyanya pelan. Nafasku tertahan. Aku benar-benar kaget dan tak menyangka. Seorang Aldorio, musuh bebuyutanku sejak 5 tahun silam kini hadir lagi di hadapanku melalui pertemuan yang sama sekali tak disengaja. Dan kini, orang itu duduk di hadapanku. Menggenggam tanganku, dan menatap mataku dalam-dalam. Aku benar-benar tak tau harus berbuat apa-apa.
“Agis ?” tanyanya lagi. Aku menatapnya gugup. Tatapannya meyakinkanku, sebelum akhirnya aku mengangguk dan tersenyum kecil. Dalam hatiku berkata, ‘jarumnya telah kutemukan..”
*simple handwritingby : faranindya
0 komentar:
Posting Komentar