Jumat, 26 November 2010

Proudly

helloooooooooooooooooo
morning all :)

ini ceriteranya aku lagi iseng search di google
search namaku
hahaha gajelas banget
ehhh malah nemu ini . . .

kenangan 2 tahun yang lalu ,


<< click here :)
http://www.balaibahasajateng.web.id/index.php/read/berita_detail/3

Penyerahan Hadiah di Balai Bahasa Semarang

Best Moment

Me , 3 from left

All of participants


ini apaan yaaaah ? hihi
ini cuma apresiasi dari apa yang pernah aku tuliskan :)

ini diaaaaa . . . .
yang paling kubanggakan dari semua yang pernah ku tulis
selamat membaca :)


TELUNJUK SASHI

            Tak ada yang istimewa dari seorang Sashimita Ayodya. Dia hanyalah gadis biasa berusia 15 tahun dengan rambut lurus sebahu dan sepasang mata yang indah. Baru tiga bulan aku mengenalnya. Sashi pindah ke kota ini dan sekelas denganku. Tiga bulan berlalu dan Sashi tetap dengan kebiasaan anehnya, menyendiri, melamun, dan terkadang menangis. Aku tak pernah melihat sepasang mata indahnya itu berbinar. Yang tampak hanyalah sepasang mata yang selalu redup dan kosong. Menatap sesuatu tanpa ekspresi. Sashi seperti es yang membeku. Begitu dingin dan tak bersahabat. Oleh karena itulah dia tak memiliki seorangpun teman, karena semua temanku menganggap Sashi orang aneh.
            Namun tidak denganku. Sebenarnya, aku ingin sekali mengenalnya lebih dekat .Selama ini, yang kutahu tentang Sashi hanyalah alamat dan mata pelajaran kesukaannya. Sashi tinggal bersama neneknya di kota ini dan ia sangat menyukai pelajaran matematika. Sashi memang tak banyak bicara.mungkin baginya diam itu emas .Selalu tenang saat pelajaran, namun selalu mendapat nilai matematika yang bagus. Ulangannya tak pernah menyentuh angka delapan.Selalu sembilan, atau sepuluh.
            Bagaimana denganku? Namaku Irama Setia. Ayahku seorang musisi dan Ibuku seorang penulis. Aku sangat berbeda dengan Sashi. Sifatku yang ramah, membuatku memiliki banyak teman. Sebenarnya aku belum puas sebelum bisa mengenal Sashi lebih dekat. Aku merasa, banyak rahasia dalam diri Sashi yang sebenarnya ingin dia ceritakan. Namun, mungkin Sashi belum menemukan seseorang yang tepat untuknya berbagi cerita. Aku ingin sekali menjadi orang itu. Menjadi orang yang dipercaya oleh Sashi untuk membagi sebagian kisah hidupnya. Aku ingin membantu Sashi memulihkan rasa percaya dirinya dan mengubah pandangan teman-teman. Aku yakin, Sashi tidak seperti yang teman-teman pikirkan.
            Seperti pagi ini, disaat teman-teman sekelasku ramai membicarakan piknik kelas yang akan diadakan minggu depan, Sashi hanya duduk diam di pojok kelas. Seperti biasa, aku melihat matanya yang indah itu redup dan begitu kosong. Aku tak tahan lagi.Segera kudekati Sashi. Aku duduk di sampingnya.
            "Sashi..." Dia menatapku.namun aku tak mendapat kehangatan disana. Tatapan itu begitu dingin dan datar. Aku mengurungkan niatku untuk mengajaknya bicara lebih dalam. Aku segera mengalihkan pembicaraan.
            "Kamu ikut piknik kelas kan? Ikut ya? Acaranya pasti ramai sekali. Kapan lagi kita pergi bersama? Sebentar lagi kita akan lulus dari sekolah ini. Jadi, acara ini sekaligus menjadi perpisahan kelas kita." Ujarku antusias. Namun, Sashi tidak memberikan tanggapan positif. Ia hanya mengedikkan bahunya, lalu meninggalkanku yang terpaku. Aku bingung sekali.Sashi tampaknya benar-benar memiliki beban yang begitu berat. Sampai-sampai, dia tak mempedulikan aku.
            "Ra, buat apa kamu masih mempedulikan mayat hidup itu? Sudahlah! Ada atau tidak adanya dia dalam piknik kelas kita, tak akan ada bedanya!" Suryo, si ketua kelas berkata sinis.
            "Suryo! Kamu itu ketua kelas. Tak seharusnya kamu membeda-bedakan warga kelas kita. Sashi akan tetap ikut." Aku balas menghardiknya. Aku tak suka siapapun menjelek-jelekkan Sashi.
            "Terserah! Tapi jangan harap ada seorangpun yang akan membujuk mayat hidup itu untuk ikut. Atau kamu sendiri yang akan melakukannya. Memohon-mohon dia untuk ikut sementara dia tak mempedulikanmu sedikitpun seperti tadi"
             "Namanya Sashi! Bukan mayat hidup! Aku akan pastikan dia ikut." Aku berkata dan menatap Suryo dengan tajam. Aku benar-benar tak habis pikir.kenapa teman-teman begitu memojokkan Sashi. Aku berlari keluar kelas diiringi tatapan sinis teman-temanku. Mungkin, mereka pikir aku sama anehnya dengan Sashi. Tapi, aku benar-benar tak peduli. Aku harus mencari Sashi dan mengajaknya ikut piknik. Mungkin, dengan jalan inilah aku bisa sediki demi sedikit masuk ke dalam kehidupan Sashi dan membantunya menyelesaikan masalah.
            Aku menemukan Sashi di taman. Sama seperti biasa, dia duduk sendiri. Melamun sambil terkadang tangannya mengusap airmata yang perlahan menetes. Aku memutuskan untuk menghampirinya.
            "Sashi.." Dia kembali menatapku. Sesaat dia hendak pergi namun aku sempat menahan tangannya.
            "Tolong.jangan buat aku bingung. Kalau ada masalah, ceritakan padaku. Kamu bisa mempercayaiku." Aku berhasil menahan Sashi. Dia tak berkata apa-apa namun sontak memelukku. Ada yang berbeda. Pelukan itu begitu erat. Tampaknya, Ia sudah lama mengharapkan pelukan hangat seorang sahabat. Bukan teman yang hanya mengolok-olok dan memojokannya.
            "Irama..Aku percaya, hanya kamu yang bisa memahamiku." Kata-kata itu tak seberapa panjang. Begitu singkat bahkan. Namun, aku sangat senang, Sashi sudah mempercayaiku.
            "Ya, Sash..Aku janji. Aku akan selalu ada disampingmu. Aku akan selalu mendengarkan ceritamu." Sashi tak menjawab lagi. Ia hanya mengangguk.hari ini, aku tak banyak memperoleh informasi tentang Sashi. Namun, ini sebuah awal yang baik untuk memulai segalanya. Kepercayaan Sashi tak akan aku sia-siakan. Dia juga sudah bersedia ikut serta dalam piknik kelas kami.
            Akhirnya, hari yang kami tunggu datang juga. Menjelang malam, kami sampai. Acara pertama adalah api unggun. Kami bersama-sama menyiapkan kayu bakar. Semua anak ikut serta. Namun aku tak melihat Sashi.Dimana dia? Penasaran, aku menelusuri villa yang tak seberapa besar. Pandanganku tertumbuk pada seorang gadis yang sedang duduk di beranda atas. Ia duduk memandang langit yang bertabur bintang.
            "Aku juga suka bintang." ujarku sambil menghampirinya. Gadis itu berbalik. Dia Sashi. Aku melihat wajahnya sayu. Matanya sembab seperti habis menangis. Dia hanya terpana melihatku.
            "Irama? Kamu? Suka bintang?" ucapnya terbata-bata.
            "Ya, aku suka bintang. Biasanya, aku membuat puisi sambil melihat bintang. Oh ya, kenapa kamu menangis? Ada masalah?" Aku mencoba bertanya dan mengerti keadaannya. Namun, Ia tidak menjawab. Ia menutup wajahnya dengan kedua telapak tangan dan kembali menangis. Aku membiarkannya menangis. Hanya inilah yang akan membuatnya sedikit tenang. Aku mengambil secarik kertas dan mulai menulis. Sesekali aku menatap bintang yang bertaburan. Indah sekali. Entah mengapa, indahnya bintang tak dapat membuat suasana hati Sashi membaik. Tak berapa lama, tangisnya mereda. Aku menepuk punggungnya,
            "Sashi..ceritakan semuanya. Barangkali aku bisa bantu."
            "Irama, aku..aku..aku ingat ibuku." Tangisan Sashi makin keras. Aku mencoba menenangkannya.
            "Maksudmu?"
         "Irama, ada banyak yang belum kamu ketahui tentang aku. Aku ingin sekali cerita, karena aku tahu, kamu tidak seperti teman-teman lain yang menganggapku orang aneh."
            "Irama, tentu saja tidak.. Aku juga sudah berjanji padamu untuk selalu ada disampingmu bukan? Ayo, ceritakan semuanya. Mungkin, aku bisa membantumu."
            "Ra, dua tahun lalu, aku dan keluargaku mengalami kecelakaan. Ayah dan Ibuku meninggal dalam kecelakaan itu. Akhirnya, aku pindah ke kota ini, karena aku anak tunggal. Aku tak punya siapa-siapa lagi selain nenekku."
            "Karena itu kamu menangis?"
            "Bukan, Ra."
            "Lalu?" Aku masih saja keheranan.Sashi menarik nafas panjang sebelum melanjutkan ceritanya.
         "Ibuku bernama bintang. Aku dekat sekali dengannya karena ayahku selalu sibuk dengan pekerjaannya. Kami selalu melihat bintang bersama-sama. Menunjuk bintang yang kami anggap paling terang sinarnya. Tapi, karena kecelakaan itu, aku tak bisa lagi melakukannya. Bukan hanya karena ibuku telah tiada."
            "Lalu?"
            "Tapi juga karena aku tak bisa lagi menunjuk bintang"
        "Kenapa Sash? Kamu bisa melakukan hal itu bersamaku. Lalu, apa masalahnya?"  Aku terus saja keheranan mendengar cerita Sashi yang berbelit-belit. Tampaknya, masih ada yang Ia sembunyikan dariku.
            "Ra, kecelakaan itu tak hanya merenggut nyawa kedua orang tuaku, tapi juga kedua telunjukku. Kedua telunjukku hancur dalam kecelakaan itu dan tak ada yang bisa menggantikannya, Ra. Sejak itu, aku malu sekali. Terlebih, aku sedih, karena aku tak bisa melakukan kebiasaan yang biasanya aku lakukan bersama ibuku. Aku tak bisa mengenangnya lagi, Ra. Tak bisa..." Aku terpana. Sashi kembali menangis. Aku tak menyangka, ternyata ada rahasia besar yang disembunyikan Sashi selama ini. Aku merasa bersalah, karena baru sekarang aku mengetahui semuanya. Setelah selama ini Sashi larut dalam kesedihannya. Keputusasaan karena tak bisa mengenang ibunya yang semasa hidup sangat dekat dengannya. Aku merasa benar-benar merasa bersalah. Sejenak, kami diam dan menenangkan diri. Setelah akhirnya aku merangkul Sashi dengan erat. Kuberikan secarik kertas yang sudah penuh dengan tulisan tanganku. Sebuah puisi untuk Sashi.
            "Sash, bacalah.." Aku menyerahkan kertas itu dan Sashi membacanya dengan seksama.
Satu Bintang

Malam begitu pekat
semakin muram tanpa hadir sang bulan
awan hitam berderak menyusuri langit
angin berhembus mengikuti irama kesunyian

Satu bintang memecah suramnya malam
Kerlipnya kecil dan tak berharga
Namun satu hal yang kutahu
suatu yang besar berawal dari yang kecil
Satu bintang lebih baik daripada tak ada

Terimakasih bintangku, sudah terangi malam sepiku
Inginku hanya satu, tutup malamku dengan kerlip indahmu

Sashi tersenyum.Dia menatapku,
            "Bagus Ra..Bagus sekali.."
            "Sash..Tak ada yang perlu disesali dan disalahkan. Jangan pernah menyalahkan dirimu sendiri. Kamu tetap bisa mengenang ibumu. Ia akan tetap selalu ada dalam hatimu. Percaya padaku." Sashi menatapku tak percaya. Aku meraih  kedua tangannya dan benar saja, hanya ada delapan jari disitu. Delapan jari lentik tanpa sepasang telunjuk. Sesaat Sashi hendak menarik kembali tangannya, namun aku menahannya.
            "Pakai telunjukku untuk menunjuk bintang itu kapanpun kamu mau, Sash. Arahkan telunjukku dengan kedua tangannmu ke arah manapun kamu mau."
Sashi menatapku haru. Matanya berkaca-kaca. Begitu juga denganku. Ia mengangguk, dan tanpa sadar, aku melihat kedua mata yang bisanya selalu kosong itu berbinar gembira. Matanya tak lagi kosong, dingin, dan datar. Namun berbinar-binar dan begitu berapi-rapi. Sinar kehangatan muncul dari matanya. Sinar hangat yang selama ini aku dambakan. Ia juga tersenyum. Senyum manis yang baru kulihat selama ini. Ia menggenggam tanganku dan mengarahkan telunjukku ke satu bintang yang sinarnya paling terang. Aku menitikkan air mata. Aku senang sekali. Bukan hanya karena bisa menebus rasa bersalahku, tapi juga karena dapat mengembalikan senyum ceria Sashi dan menghilangkan kesedihannya.
            "Itu Ra! Itu! Itu bintang yang paling terang! Aku bisa menunjukknya lagi! Aku bisa!" Sashi begitu bersemangat. Sekali lagi aku menitikkan air mata. Semua terjadi seperti mimpi. Ternyata, kehidupan tak sesempurna yang aku bayangkan. Dibalik kehidupan seorang remaja yang penuh dengan keceriaan, warna, dan harapan, tersimpan keputusasaan yang begitu menekan. Selama ini, Sashi hidup dalam bayang-bayang kematian kedua orangtuanya terutama Ibu yang begitu dekat dengannya, keputusasaan dan rasa malu karena kehilangan dua jari telunjuknya, juga perasaan menyesal karena merasa tak bisa lagi mengenang Ibunya. Aku merasa begitu bodoh, karena baru menyadarinya. Selama ini hidupku begitu sempurna. Ayah dan Ibu yang selalu ada untukku, dan teman-teman yang mewarnai hari-hariku. Setelah ini aku berjanji, aku akan menjadi seorang sahabat sekaligus seorang saudara bagi Sashi. Aku harus mengubah pandangan buruk teman-teman selama ini. Aku berjanji.
            Sashi menatapku. Tetap dengan senyuman manis dan tatapan berbinar gembira. Aku merasa sudah menemukan sosok Sashi yang sesungguhnya.
            "Terimakasih, Irama..Terimakasih..." ucapnya tulus. Sekali lagi dengan senyum yang manis. Manis sekali.


Faranindya


makasih yang uda sempetin baca :)
*smooch*

0 komentar:

Posting Komentar